“Aborsi HALAL” Legalitas Aborsi bagi Korban Perkosaan

Oleh : Dwi Ghita/ K013241025

S3 Ilmu kesehatan Masyarakat
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Hasanuddin Makassar

Regulasi Kesehatan 2024 di Indonesia yang mengatur isu seperti legalitas aborsi. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.

Regulasi ini mengizinkan aborsi secara terbatas, khususnya untuk kasus korban kekerasan seksual dan dalam kondisi darurat medis.

Ketentuan ini juga merujuk pada UU sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang juga membahas batasan-batasan terkait aborsi.

Regulasi aborsi bagi korban kekerasan seksual dan kondisi darurat medis berlandaskan pada prinsip beneficence, yakni meminimalkan penderitaan dan melindungi kesehatan fisik serta mental korban.

Ini sejalan dengan tanggung jawab kesehatan masyarakat untuk melindungi populasi rentan, terutama perempuan dan anak-anak.

Safe abortion dari sudut pandang WHO (World Health Organization, 2024) dilakukan oleh seseorang yang memiliki keterampilan dan dilakukan sesuai usia kehamilan sebagai suatu intervensi Kesehatan yang aman. Sedangkan unsafe abortion merupakan intervensi Kesehatan yang dilakukan pada lingkungan yang tidak sesuai standar medis minimal dan dilakukan oleh oknum yang tidak berketerampilan.

Aborsi “legal” secara hukum jelas diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, namun korban perkosaan mendapatkan kesulitan akses terhadap layanan Kesehatan yang aman.

Peraturan Pemerintah tersebut menyatakan bahwa setiap orang dilarang untuk melakukan tindakan aborsi, kecuali terdapat kondisi kedaruratan medis atau terhadap korban tindak pidana pemerkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan sesuai dengan ketentuan dalam kitab undang-undang pidana.

Pelayanan aborsi juga hanya boleh dilakukan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut yang memenuhi Sumber Daya Kesehatan sesuai standar yang ditetapkan oleh Menteri.

Selain fasilitas, Peraturan Pemerintah ini juga mengatur bahwa pelayanan aborsi hanya dapat dilakukan oleh Tenaga Medis dan dibantu oleh Tenaga Kesehatan sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya.

Kontroversi PP No. 28 Tahun 2024, PP ini mengacu pada UU No.1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa aborsi pidana penjara aborsi tidak berlaku pada perempuan yang merupakan korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan yang umur kehamilannya tidak melebihi 14 (empat belas) minggu atau memiliki indikasi kedaruratan medis (Pasal 463 Ayat 2).

Kontras dengan kondisi korban perkosaan mendapatkan kesulitan akses terhadap layanan Kesehatan yang aman. Pada pasal 120 dinyatakan bahwa pelayanan aborsi diberikan oleh tim pertimbangan dan dokter yang berwenang. Akan tetapi, keberadaan tim pertimbangan ini justru berpotensi untuk memperlambat penanganan medis pada kasus kehamilan beresiko.

Rekomendasi, Penyediaan Layanan Aborsi Aman dan Legal, pemerintah perlu menyediakan akses layanan aborsi yang aman, legal, dan terjangkau bagi korban perkosaan. Ini termasuk fasilitas medis yang tersebar merata, dengan tenaga kesehatan yang terlatih.

Pendampingan Psikologis dan Konseling, setiap korban yang memilih aborsi harus diberikan akses ke layanan konseling psikologis sebelum dan sesudah prosedur. Ini penting untuk mendukung kesehatan mental korban dan proses pemulihan.

Edukasi dan Sosialisasi, pemerintah harus mengedukasi masyarakat tentang kebijakan ini dan menjelaskan kondisi-kondisi di mana aborsi diperbolehkan, khususnya untuk korban perkosaan, guna menghindari stigmatisasi sosial.

Kolaborasi Antar Lembaga, Kementerian kesehatan, sosial, dan lembaga hukum harus berkolaborasi untuk memastikan pelaksanaan kebijakan berjalan efektif, termasuk penanganan kasus perkosaan dan pendampingan korban.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *