Keterangan Gambar:
Seorang pejabat parlemen tengah berbicara serius dalam rapat di Komplek Parlemen Senayan, membahas rencana penerbitan Instruksi Presiden untuk rehabilitasi pascabencana di Sumatera
Penulis: Ibnu Sultan
1. Ruang Rapat yang Menyimpan Banyak Cerita
Di lantai berpendingin udara Komplek Parlemen Senayan, suara mesin pendingin menyelip di antara percakapan. Kursi-kursi kulit tertata rapi, aroma kopi robusta yang baru diseduh masih menggantung di udara. Siang itu, di balik sebuah meja panjang berlapis kayu cokelat gelap, Danang Wicaksana Sulistya memutar-mutar pena di jemarinya. Gerakan kecil itu seperti penanda kegelisahannya yang dipendam rapi.
Ia mengenakan kemeja batik bercorak abstrak, kontras dengan latar ruang yang dingin dan modern. Di balik kaca matanya yang buram oleh pantulan lampu rapat, ada mata yang mencatat cepat setiap laporan kerusakan dari Sumatera: jembatan runtuh, jalan terputus, hunian tenggelam, fasilitas umum rusak diterjang air.
Ketika ia mulai berbicara, suaranya tidak melengking seperti orator. Justru tenang dan terukur—seperti seseorang yang sudah melewati terlalu banyak pertemuan untuk sekadar membuang kata.
“Sumatera harus dipulihkan. Dan kita tidak boleh datang terlambat,” katanya.
Kalimat itu tidak bernada dramatis. Namun justru karena itulah ia terdengar lebih serius. Di ruangan yang menjunjung formalitas, ucapan itu terasa seperti pesan dari medan bencana yang masuk melalui kabel-kabel listrik dan jaringan data.
2. Sumatera yang Masih Diguyur Kenangan
Di tempat jauh dari Senayan—di tepian sungai-sungai besar yang airnya sering lebih cepat berubah watak ketimbang cuaca—Sumatera masih mencatat sisa luka banjir yang datang tiba-tiba. Rumah-rumah berdinding papan masih menyimpan tanda air hingga setinggi dada orang dewasa. Dapur masyarakat hanyut bersama piring-piring pecah. Di desa-desa pegunungan, jalan tanah berubah menjadi cokelat pekat dan licin seperti sabun, memutus akses menuju balai kesehatan.
Di satu kecamatan, seorang ibu masih menjemur buku-buku sekolah anaknya yang basah. Di kecamatan lain, satu jembatan penghubung yang selama 15 tahun menjadi nadi ekonomi kini hilang di bawa arus—menyisakan tiang penyangga seperti tulang yang patah.
Setiap laporan yang masuk ke meja Danang bukan angka. Ia adalah foto. Wajah. Nama. Dan cerita.
3. Inpres: Bukan Sekadar Surat Presiden
Maka ketika pemerintah menyampaikan rencana menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) untuk rehabilitasi Sumatera, Danang tahu: ini bukan sekadar tanda tangan di atas lembaran kertas negara. Ini adalah perangkat politik dan birokrasi yang mampu menggerakkan kementerian dan lembaga seperti satu tubuh.
“Di negara ini,” ujarnya pelan, “tanpa Inpres, semua bisa bergerak. Tapi dengan Inpres, semuanya harus bergerak.”
Satu kata yang menjadi kunci gaya kerjanya: keterpaduan.
Karena bencana tidak mengenal batas kementerian. Air bah tidak berhenti di wilayah Kementerian PUPR. Angin kencang tidak berhenti di pos Kementerian Sosial. Yang rusak bukan hanya jalan, tetapi ekonomi rumah tangga. Yang hilang bukan hanya jembatan, tetapi harapan harian.
Inpres, dalam perspektif Danang, adalah tulang punggung koordinasi: memastikan pemulihan dari hunian, fasilitas publik, jalan, jembatan, hingga instalasi layanan dasar berjalan dalam satu garis lurus.
4. Jenderal di Garis Tengah
Keputusan Presiden Prabowo Subianto menunjuk seorang jenderal—Maruli Simanjuntak, KSAD—untuk memimpin Satuan Tugas percepatan perbaikan infrastruktur pascabencana di Sumatera, sempat membuat sejumlah pihak mengernyitkan dahi. Ini langkah tegas, bahkan agresif, namun Danang melihatnya sebagai gerakan yang tak bisa lagi ditunda.
“Kerusakan jembatan itu bukan sekadar konstruksi yang roboh,” ucapnya. “Itu putusnya pengiriman beras, obat, BBM. Itu memutus kehidupan.”
Tentara, dalam banyak tragedi di Indonesia, adalah tangan pertama negara yang tiba di medan. Ia bekerja tidak dengan retorika, tetapi dengan cangkul, palu, dan logistik.
Danang tidak mengglorifikasi. Namun ia tahu: kecepatan di momentum bencana menentukan apakah warga bisa makan besok pagi.
5. Rumah yang Terendam adalah Biografi yang Robek
Di sebuah kota kecil di Sumatera, seorang lelaki tua duduk di depan rumahnya yang temboknya mengelupas. Di tangannya, ia memegang foto pernikahan yang warnanya mulai memudar. “Air mencapai sini,” katanya, menunjuk dadanya. “Tapi kenangan saya lebih dalam.”
Pemerintah menempatkan pemulihan hunian sebagai prioritas utama dalam rancangan Inpres. Danang mendukung keras prinsip itu.
Menurutnya, rumah bukan sekadar bangunan—ia adalah biografi.
“Orang yang kehilangan rumah, kehilangan arah hidup,” kata Danang. “Karena itu pemulihan hunian tidak boleh ditunda.”
Setelah itu barulah jalur logistik, sekolah, jembatan, puskesmas, dan fasilitas layanan dasar lainnya mendapat jatah rekonstruksi. Bukan penundaan; ini penahapan logis.
6. Di Balik Anggaran, Ada Pertarungan Sunyi
Tidak banyak yang tahu, tetapi setiap kali bencana besar terjadi, ada pertarungan panjang di balik meja-meja birokrasi: bagaimana anggaran direalokasi, bagaimana nomenklatur program disesuaikan, bagaimana audit dan regulasi dipenuhi tanpa menghambat kecepatan pemulihan.
Danang adalah salah satu orang yang sering melihat itu dari jarak dekat.
Karena itu ia menegaskan: Komisi V DPR RI akan mengawal. Dari rapat anggaran, rapat evaluasi, hingga pengecekan lapangan jika diperlukan.
Ini bukan ancaman birokratis, tetapi pengingat: negara punya mata.
Namun ia juga tidak lupa: peran daerah sama pentingnya. Pendataan kerusakan harus cepat, akurat, tanpa dilebih-lebihkan untuk mencari anggaran lebih, tanpa diperkecil demi tampilan statistik.
Dalam setiap bencana, kebenaran adalah hal pertama yang sering kali tenggelam.
7. Sumatera, Negara, dan Janji yang Harus Ditagih
Ketika rapat berakhir, Danang merapikan berkas. Satu per satu layar monitor dimatikan. Cahaya matahari mulai condong ke barat. Ruang rapat kembali sunyi, hanya menyisakan dingin AC dan aroma kopi yang menguap.
Di luar gedung, Jakarta tampak normal seperti biasa. Tetapi jauh di Sumatera, beberapa warga masih menjemur pakaian yang tak kunjung kering, masih menyusun kembali perabotan yang rusak, masih tidur di tenda.
Dan bagi mereka, Inpres bukan sekadar produk hukum. Ia adalah janji.
“Negara hadir,” ucap Danang sebelum meninggalkan ruangan. “Tugas kita memastikan kehadiran itu nyata, bukan sekadar formal.”
Dari ucapan itu, jelas satu hal: pemulihan Sumatera bukan hanya proyek pembangunan. Ia adalah pertempuran antara luka dan harapan, antara kerusakan dan keteguhan.
Dan negara—melalui satu Inpres—sedang mencoba menambal retakan itu satu per satu.









