Di Antara Piagam dan Pemberhentian

POLRI18 Dilihat

Keterangan Gambar:

Kapolda Sulsel Irjen Pol. Djuhandhani Rahardjo Puro menyerahkan penghargaan kepada personel berprestasi di Lapangan Upacara Mapolda Sulsel. Dalam satu seremoni, institusi memberi apresiasi sekaligus menjatuhkan sanksi—menandai batas antara prestasi dan pelanggaran


Laporan : Masykur Thahir


Lapangan Upacara Mapolda Sulawesi Selatan pagi itu sunyi oleh disiplin. Barisan tegak, langkah terukur. Di ruang terbuka itu, penghargaan berpindah tangan—sementara dua nama lain dikeluarkan dari daftar panjang pengabdian. Institusi sedang berbicara kepada dirinya sendiri: tentang prestasi yang dirawat, dan pelanggaran yang tak lagi ditoleransi.


Satu Upacara, Dua Makna

Kamis, 18 Desember 2025, Kapolda Sulawesi Selatan Irjen Pol. Djuhandhani Rahardjo Puro memimpin upacara pemberian penghargaan sekaligus Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) terhadap personel Polda Sulsel. Sebuah seremoni yang ringkas, namun sarat simbol: negara memberi, negara juga mencabut.

Didampingi Wakapolda Brigjen Pol. Nasri dan para pejabat utama, Kapolda berdiri di hadapan personel gabungan. Upacara ini bukan sekadar agenda rutin, melainkan penegasan arah—bahwa disiplin tetap menjadi poros, bahkan ketika kepercayaan publik kian rapuh.


Angka-angka Prestasi

Sebanyak 183 personel menerima penghargaan. Di balik angka itu, terdapat kerja senyap yang jarang dibaca publik: pengungkapan perdagangan anak, kejahatan narkotika, korupsi anggaran, hingga penyelamatan aset negara.

Prestasi itu datang dari:

  • pengungkapan kasus perdagangan dan penculikan anak,
  • penanganan kejahatan terhadap kantor-kantor simbol negara,
  • penyelamatan aset Polri,
  • hingga pengungkapan korupsi dan narkotika.

Penghargaan diserahkan, piagam difoto, barisan tetap tegak. Tidak ada sorak. Tidak ada selebrasi.


Apresiasi sebagai Pesan Internal

Dalam sambutannya, Kapolda menyebut penghargaan sebagai bagian dari pembinaan karier dan manajemen kinerja. Ia berharap, apresiasi menumbuhkan keteladanan dan etos kerja—bukan sekadar kebanggaan sesaat.

Kalimatnya normatif. Pesannya jelas: prestasi dicatat, kinerja dinilai, loyalitas diuji terus-menerus.


Batas yang Tidak Bisa Dinegosiasikan

Di upacara yang sama, dua personel dijatuhi PTDH secara absentia. Pelanggarannya berat: narkotika dan pencabulan. Nama mereka tak disebut lantang, tapi sanksinya final.

Kapolda menegaskan, keputusan itu melalui proses panjang dan berlandaskan keadilan serta kepastian hukum. Institusi, kata dia, tak boleh ragu membersihkan dirinya sendiri—sekalipun itu berarti kehilangan anggota.

Di titik ini, upacara berhenti menjadi seremoni. Ia berubah menjadi pernyataan sikap.


Menjaga Marwah, Menguji Konsistensi

Momentum ini, menurut Kapolda, harus dibaca sebagai refleksi bersama. Bahwa Polri dituntut bukan hanya bekerja, tetapi menjaga marwah. Bukan hanya hadir di lapangan, tetapi konsisten pada nilai.

Program Presisi kembali disebut—sebagai janji yang terus diuji oleh waktu dan praktik.

Di Lapangan Upacara Mapolda Sulsel, piagam dan pemberhentian berdiri berdampingan. Keduanya menyampaikan pesan yang sama, dengan nada berbeda: integritas bukan slogan. Ia keputusan, diulang setiap hari.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *