Keterangan Gambar
Jajaran Polres Soppeng bersama unsur TNI, pemerintah daerah, dan instansi terkait usai Upacara Peringatan Hari Bela Negara ke-77 Tahun 2025 di halaman Kantor Bupati Soppeng, Jumat (19/12).
Laporan : Alimuddin
SOPPENG — Negara, sesungguhnya, tidak hanya hadir di ruang undang-undang dan barisan kekuasaan. Ia hidup di halaman-halaman kecil tempat warga berdiri diam, menundukkan kepala, dan mengingat bahwa republik ini pernah nyaris padam. Pagi itu, di halaman Kantor Bupati Soppeng, upacara Hari Bela Negara ke-77 berlangsung dalam sunyi yang khidmat—sunyi yang penuh makna.
Di bawah panji bertuliskan “Teguhkan Bela Negara untuk Indonesia Maju”, barisan aparat dan sipil berdiri sejajar. Loreng TNI, seragam cokelat kepolisian, dan pakaian dinas lainnya menyatu dalam satu lanskap: potret kesetiaan yang tak lekang oleh waktu, meski zaman terus bergeser.
Sejarah yang Menolak Dilupakan
Hari Bela Negara bukan sekadar penanda kalender. Ia lahir dari satu momen genting ketika Republik Indonesia hampir kehilangan napasnya. Tahun 1948, saat agresi militer Belanda melumpuhkan pusat kekuasaan, Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) berdiri di Bukittinggi—sebuah keputusan sunyi yang menyelamatkan negara dari kehampaan sejarah.
Dari peristiwa itu, republik belajar satu hal penting: bahwa negara hanya bertahan selama warganya memilih untuk setia. Kesetiaan itulah yang kini diperingati, bukan dengan senjata teracung, melainkan dengan ingatan yang dijaga.
Ancaman yang Berubah Wajah
Hari ini, ancaman tidak selalu datang dengan dentum meriam. Ia menyelinap melalui layar gawai, melalui arus informasi yang tak selalu jujur, melalui radikalisme yang menyamar sebagai kebenaran, dan melalui bencana alam yang kian sering menguji kesiapan negara.
Dalam lanskap inilah, Polres Soppeng hadir sebagai bagian dari barisan penjaga republik. Kapolres Soppeng AKBP Aditya Pradana, S.I.K., M.I.K., menegaskan bahwa bela negara bukan lagi konsep abstrak, melainkan kerja sehari-hari yang sunyi namun menentukan.
“Bela negara hari ini adalah keberanian menjaga persatuan. Melindungi masyarakat, menjaga ketertiban, dan memastikan ruang digital tidak menjadi ladang perpecahan,” ujarnya.
Pengabdian yang Tak Selalu Terdengar
Polri, dalam kerangka bela negara, tidak selalu tampil dalam sorotan. Ia hadir saat bencana datang lebih cepat dari bantuan. Ia bekerja ketika hoaks menyebar lebih cepat dari klarifikasi. Di sanalah bela negara menemukan bentuknya yang paling nyata: kerja yang jarang dirayakan, tetapi selalu dibutuhkan.
Kapolres juga mengajak masyarakat menjadikan Hari Bela Negara sebagai cermin—untuk bertanya sejauh mana kita telah menjaga rumah bersama bernama Indonesia.
Merawat Republik dari Daerah
Upacara ini sekaligus mengingatkan bahwa republik tak pernah diselamatkan oleh pusat semata. Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat—dan banyak daerah lain—pernah menjadi tulang punggung ketika negara terancam. Dari daerah, api kesetiaan dinyalakan dan dikirimkan ke seluruh penjuru nusantara.
Soppeng, pagi itu, menjadi satu simpul kecil dari jaringan besar bernama Indonesia. Simpul yang mengikat masa lalu dengan masa kini, sejarah dengan harapan.
Kesetiaan sebagai Kerja Panjang
Hari Bela Negara ke-77 ditutup tanpa sorak-sorai. Sebab kesetiaan tidak membutuhkan tepuk tangan. Ia membutuhkan ketekunan. Dan republik, seperti yang ditunjukkan sejarahnya, hanya akan terus hidup selama warganya bersedia merawatnya—hari demi hari, dalam kerja-kerja yang barangkali tak pernah tercatat, tetapi menentukan arah masa depan. (Sumber rilis : Humas Polres Soppeng)












