Bekerja Bersama Polri, Menulis Kemanusiaan: PWI Membuka Ingatan Publik dari Puing Bencana

PERS, POLRI30 Dilihat

Ilustrasi

Bencana selalu datang tanpa mengetuk pintu. Yang sering terlupa justru datang setelahnya: kerja panjang, sunyi, dan melelahkan. Di antara debu, pengungsian, dan antrean bantuan, negara bekerja—kadang terlihat, kadang luput dari kamera. Di situlah jurnalisme diuji: apakah sekadar mencatat, atau ikut menjaga ingatan publik agar tak cepat berpaling.

Ketika Penghargaan Menjadi Ruang Ingatan

Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat kembali membuka ruang itu melalui Anugerah Jurnalistik PWI (AJP) 2025. Total hadiah Rp300 juta disiapkan, bukan semata sebagai kompetisi, melainkan sebagai penanda: bahwa kerja jurnalistik tentang bencana dan kemanusiaan masih perlu dirawat, diperpanjang napasnya.

AJP 2025 memberi perhatian khusus pada liputan peran anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), terutama di wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat—daerah yang belum sepenuhnya pulih dari luka alam.

Sumatera dan Kerja yang Tak Selalu Terlihat

Di lapangan, Polri hadir dalam banyak rupa: mengamankan, mengevakuasi, menenangkan, dan menunggu. Tidak semuanya heroik. Tidak semuanya layak puja. Tetapi semuanya bagian dari cerita yang harus dicatat secara utuh.

Ketua Panitia AJP Award 2025, Eddy Iriawan, mengatakan ajakan kepada wartawan di daerah terdampak disampaikan dengan kehati-hatian.

“Ini bukan soal lomba. Ini soal empati. Daerah-daerah itu masih memulihkan diri,” ujarnya dalam rapat panitia di Jakarta, Sabtu, 20 Desember 2025.

Menulis Bencana Tanpa Mengeksploitasi

AJP Award, menurut Eddy, tidak dimaksudkan menjadikan bencana sebagai komoditas berita. Yang hendak direkam justru kerja-kerja kemanusiaan: apa yang dilakukan negara, apa yang dialami warga, dan apa yang masih tertinggal dari perhatian publik.

Jurnalisme, dalam konteks ini, tidak berdiri sebagai penonton. Ia menjadi penghubung antara lapangan dan ingatan kolektif.

Enam Bentuk Cerita, Satu Etika

AJP 2025 melombakan enam kategori: media cetak, media siber, televisi, foto jurnalistik, infografis, dan media sosial resmi perusahaan pers. Hadiah disusun berlapis—dari Rp20 juta hingga nominasi—namun etika tetap satu: kejujuran pada fakta dan kepekaan pada manusia.

Total hadiah Rp300 juta hanyalah angka. Nilai sesungguhnya terletak pada keberanian wartawan menulis secara jernih di tengah situasi yang tidak pernah sederhana.

Polri dalam Dua Cermin

Melalui AJP, PWI bersama Polri membuka ruang penulisan yang tidak tunggal. Polri dapat ditampilkan sebagai institusi pengabdian—tetapi juga sebagai lembaga yang harus terus dikritik.

“Pengorbanan sering tidak terlihat. Tapi penyimpangan juga tidak boleh ditutup-tutupi,” kata Eddy.

Di titik ini, jurnalisme tidak memilih berpihak, kecuali pada kepentingan publik.

Undangan yang Tidak Memaksa

AJP Award 2025 terbuka bagi seluruh wartawan Indonesia. Karya dapat dikirim hingga 10 Januari 2026. Sidang dewan juri berlangsung pada 11–28 Januari 2026. Penganugerahan akan digelar pada Hari Pers Nasional 2026 di Serang, Banten, 9 Februari 2026.

Panitia menegaskan: tak ada kewajiban bagi wartawan di daerah bencana untuk ikut serta. Undangan ini bersifat partisipatif—menghormati sepenuhnya kondisi psikologis dan profesional rekan-rekan di lapangan.

Di Antara Negara dan Kata

Pada akhirnya, AJP 2025 adalah pengingat bahwa bencana tidak hanya soal angka korban atau kerusakan. Ia adalah soal bagaimana negara hadir, bagaimana aparat bekerja, dan bagaimana pers memilih untuk menuliskannya.

Di antara Polri dan publik, jurnalisme berdiri—menjaga jarak, menjaga nurani. (*/Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *