Oleh: Rusdianto Sudirman
Advokat, Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare.
Juga Penasehat Hukum Group Media Suara Palapa (Palapa TV, Majalah Suara Palapa, Suarapalapa.id & Palapainfo.com)
Kabar gembira datang dari Mahkamah Agung. Pemerintah telah menetapkan kenaikan gaji dan tunjangan hakim hingga 280%. Ini adalah langkah bersejarah yang telah lama dinanti. Dalam sudut pandang kebijakan, gagasan menyejahterakan hakim patut diapresiasi sebagai bentuk penghormatan terhadap independensi kekuasaan kehakiman serta sebagai tameng dari potensi suap dan intervensi.
Namun, di balik kegembiraan itu, terbit pertanyaan kritis: mengapa hanya hakim yang disejahterakan secara drastis, sementara aparat penegak hukum lain seperti jaksa, polisi, dan advokat tidak mendapat perhatian serupa?
Keadilan adalah kerja kolektif, bukan produk tunggal dari satu lembaga. Ketika hanya satu pilar sistem peradilan yang diperkuat, maka keseimbangan dan integritas sistem hukum berisiko timpang.
Di ruang sidang, hakim bukanlah satu-satunya penegak keadilan. Jaksa mengemban tugas penuntutan dan mengawal proses hukum, polisi bertugas menegakkan hukum dan mencari alat bukti, sedangkan advokat berperan sebagai pembela hak-hak warga negara. Ketiganya adalah satu kesatuan sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang mestinya mendapatkan perlakuan setara dalam aspek kesejahteraan, perlindungan, dan penghormatan terhadap profesi mereka.
Celakanya, jika hakim diberi insentif besar agar tak tergoda suap, bagaimana dengan jaksa dan penyidik? Bagaimana pula dengan advokat yang setiap hari berjibaku mengawal kliennya, seringkali menghadapi tekanan, intimidasi, bahkan kriminalisasi?
Perlu diingat, advokat dalam sistem hukum Indonesia adalah penegak hukum sebagaimana diakui secara tegas dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Namun, status ini sering diabaikan dalam berbagai kebijakan negara, baik dalam bentuk pengakuan hukum maupun tunjangan kesejahteraan. Tak seperti hakim dan jaksa yang ASN, advokat berdiri mandiri tanpa gaji negara, tanpa perlindungan jaminan, dan tak jarang menjadi bulan-bulanan opini publik saat membela perkara-perkara kontroversial.
Mengangkat martabat hakim lewat peningkatan penghasilan adalah niat mulia. Tapi tanpa kebijakan yang adil bagi seluruh aparat penegak hukum, kebijakan itu bisa melahirkan kecemburuan struktural yang justru merusak solidaritas antarpilar keadilan.
Di titik ini, negara perlu menyusun kebijakan holistik. Kesejahteraan hakim tak boleh jadi menara gading yang terisolasi. Jaksa dan penyidik juga memikul beban berat dalam menegakkan hukum, bahkan tak jarang menjadi sasaran gempuran politik dan mafia hukum. Jika tujuan utama kebijakan ini adalah menciptakan peradilan yang bersih dan adil, maka logikanya mesti diterapkan secara menyeluruh bukan hanya pada hakim.
Hal yang paling ironis adalah nasib advokat. Di negeri ini, menjadi advokat seperti masuk ke gelanggang tanpa jaminan. Tak ada penghasilan tetap, tak ada perlindungan negara, dan seringkali berhadapan dengan institusi penegak hukum yang lebih kuat dan tertutup. Padahal, advokat adalah pelindung hak warga negara dalam berhadapan dengan negara.
Oleh karena itu menurut penulis, pemerintah harus adil terhadap semua profesi penegak hukum, beberapa rekomendasi dari penulis yaitu:
Pertama, pemerintah harus menyusun kebijakan kesejahteraan bagi semua aparat penegak hukum, bukan hanya hakim. Untuk ASN seperti jaksa dan penyidik, peningkatan gaji dan tunjangan bisa dilakukan lewat revisi struktural dan anggaran lembaga. Sementara bagi advokat, bisa dipertimbangkan skema insentif profesi, jaminan perlindungan hukum, serta pembiayaan bantuan hukum berbasis APBN/APBD secara layak dan berkelanjutan.
Kedua, perlu dirancang sistem legal aid nasional yang kuat, bukan hanya untuk masyarakat miskin, tapi juga sebagai cara negara menghargai jasa para advokat yang terlibat dalam penyediaan keadilan. UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum harus diperkuat implementasinya agar advokat yang bekerja di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) mendapatkan kepastian pendanaan dan pengakuan setara dengan profesi hukum lainnya.
Ketiga, pembaruan sistem peradilan tidak cukup dengan memberi gaji besar. Integritas tidak bisa dibeli. Harus ada reformasi budaya hukum: pembinaan etik, transparansi proses persidangan, pengawasan independen, serta keterbukaan akses publik terhadap putusan.
Jika negara sungguh-sungguh ingin memuliakan keadilan, maka penghormatan itu harus diberikan secara utuh kepada semua pilar keadilan. Jangan biarkan satu pilar menjulang, sementara yang lain runtuh tertindih beban. Keadilan tak hanya soal putusan di palu hakim, tapi juga bagaimana jaksa menuntut, polisi menyidik, dan advokat membela dengan nurani yang bersih tanpa takut, tanpa lapar.
Maka, pertanyaan kritisnya: apakah kenaikan gaji hakim adalah awal reformasi peradilan atau hanya kosmetik kebijakan yang tak menyentuh akar persoalan? Jawabannya akan sangat menentukan masa depan hukum di negeri ini.