Oleh: Sabri (Reporter Suarapalapa.id & Palapainfo.com Kab. Wajo)
Ada pagi-pagi tertentu ketika republik terlihat nyata. Bukan di gedung parlemen, bukan di podium upacara, tetapi di ambang pintu gereja. Di Wajo, Kamis, 25 Desember 2025, republik berdiri dengan sepatu lars dan rompi dinas—menjaga doa agar tetap punya tempat di ruang publik.
Sebanyak 119 personel Polres Wajo disebar di gereja-gereja. Mereka mengatur lalu lintas, mengawasi lingkungan, dan menutup celah ancaman. Itu terdengar prosedural. Tapi maknanya politis: negara sedang menjalankan janji konstitusionalnya—menjamin hak beribadah warga, terutama mereka yang minoritas.
Ibadah bukan peristiwa privat semata. Ia adalah pernyataan identitas yang hadir di jalan, di halaman, di telinga kota. Karena itulah ia rawan. Dan karena itulah negara harus terlihat. Netral terhadap iman, tetapi tidak netral terhadap ancaman.
Instruksi “humanis dan ramah” yang ditekankan Polres Wajo bukan kosmetik. Di negeri yang kerap memaksa iman menjadi urusan dapur, kehadiran aparat yang menjaga tanpa mengintimidasi adalah syarat minimum demokrasi. Bukan untuk mengawasi doa, melainkan memastikan doa tak diawasi oleh rasa takut.
Ukuran republik bukan seberapa keras ia berbicara tentang toleransi, melainkan seberapa tenang minoritas beribadah. Di Wajo, Natal 2025 menjadi ujian kecil itu—dan negara memilih hadir.
Seragam-seragam itu berdiri diam. Tapi pesannya keras: negara tidak boleh absen ketika iman terancam. Menjaga pintu gereja adalah menjaga konstitusi. Negara harus selalu berada di sana—di ambang tempat warga memanggil Tuhannya, apa pun nama-Nya.







