Menyalakan Lilin di Ujung Tahun

KAMTIBMAS21 Dilihat

Keterangan Gambar

Kapolres Soppeng AKBP Aditya Pradana memimpin Apel Gelar Pasukan Operasi Lilin 2025 di halaman Mako Polres Soppeng, Jumat (19/12/2025), sebagai penanda kesiapan negara mengawal perayaan Natal dan pergantian Tahun Baru.


Laporan : Alimuddin


Di halaman Markas Polres Soppeng, barisan aparat berdiri rapi di bawah spanduk besar bertuliskan Operasi Lilin 2025. Ritual tahunan itu kembali digelar—sebuah penanda bahwa negara, lewat seragam dan aba-aba, tengah bersiap mengawal malam-malam paling ramai dalam kalender sosial: Natal dan pergantian tahun.

Apel Gelar Pasukan, Jumat 19 Desember 2025, bukan sekadar hitung-hitungan personel dan perlengkapan. Ia adalah pernyataan simbolik: bahwa rasa aman, di negeri ini, masih harus diumumkan secara resmi, dipamerkan dalam barisan, dan ditegaskan lewat komando.


Ritual Negara Bernama Apel

Dipimpin Kapolres Soppeng AKBP Aditya Pradana, apel ini dihadiri hampir seluruh unsur kekuasaan lokal: TNI, kejaksaan, pemerintah daerah, hingga instansi teknis. Sebuah pemandangan yang lazim—bahkan nyaris klise—namun selalu sarat makna. Negara hadir secara penuh, serempak, dan terkoordinasi.

Dalam amanatnya, Kapolres menyebut Operasi Lilin sebagai operasi kemanusiaan. Frasa yang kerap diulang tiap akhir tahun, seolah ingin menegaskan bahwa pengamanan perayaan agama dan pesta rakyat bukan semata urusan senjata, melainkan soal empati, pelayanan, dan kehadiran yang menenangkan.


Humanisme yang Diinstruksikan

Pesan yang disampaikan pun normatif: profesional, humanis, persuasif. Aparat diminta menjadi teladan, menjaga sikap, dan mengedepankan pendekatan yang beradab. Semua terdengar benar, bahkan indah. Namun justru di situlah ironi kecilnya: kemanusiaan masih harus diinstruksikan lewat pengeras suara, bukan tumbuh sebagai kesadaran institusional yang otomatis.

Operasi Lilin kembali menempatkan aparat pada peran ganda—penjaga keamanan sekaligus wajah negara di ruang publik. Di tengah lalu lintas padat, rumah ibadah yang penuh, dan euforia pergantian tahun, aparat diharapkan hadir tanpa menakutkan, tegas tanpa arogan.


Pita, Pos, dan Peta Kekuasaan

Pemasangan pita operasi kepada perwakilan lintas instansi menjadi penanda resmi dimulainya operasi. Simbol kecil itu menandai kerja besar selama 14 hari ke depan: dari 20 Desember 2025 hingga 2 Januari 2026.

Empat pos operasi disiapkan di titik-titik strategis—Lalabata, Marioriwawo, Lilirilau, dan Marioriawa. Pos-pos ini bukan hanya simpul pengamanan, tetapi juga peta kehadiran negara: di jalan raya, pusat keramaian, dan ruang-ruang publik yang rawan sekaligus vital.


Toleransi yang Dijaga, Bukan Diandaikan

Kapolres juga mengimbau masyarakat untuk menjaga toleransi antarumat beragama dan ketertiban berlalu lintas. Sebuah ajakan yang terdengar sederhana, namun menyimpan pesan penting: harmoni sosial di negeri majemuk ini masih memerlukan pengawalan ekstra, terutama ketika perayaan dan kepadatan bertemu.

Natal dan Tahun Baru, dalam konteks ini, bukan sekadar momentum sukacita, tetapi juga ujian rutin bagi kapasitas negara dalam mengelola keragaman, mobilitas, dan potensi gesekan sosial.


Apel Usai, Pekerjaan Dimulai

Apel berakhir pukul 16.50 WITA, tertib dan tanpa insiden. Namun justru setelah barisan dibubarkan, kerja sesungguhnya dimulai. Negara harus membuktikan bahwa kehadirannya tidak berhenti pada seremoni, bahwa rasa aman tidak hanya lahir dari spanduk dan apel, melainkan dari tindakan yang konsisten, adil, dan manusiawi.

Di ujung tahun, lilin-lilin dinyalakan di banyak tempat—di gereja, di rumah, di jalanan. Negara pun menyalakan lilinnya sendiri: sebuah operasi bernama pengamanan. Pertanyaannya selalu sama, dan tak pernah benar-benar selesai dijawab—apakah cahaya itu cukup untuk menghalau gelap, atau sekadar memastikan negara tetap terlihat hadir?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *