Ketwrangan Gambar :
Personel Polsek Sabbangparu berdiri di tengah kepadatan Pasar Rakyat Salojampu, Kecamatan Sabbangparu, Kabupaten Wajo, Sabtu (13/12/2025). Di ruang ekonomi rakyat yang rapuh, seragam menjadi simbol kehadiran negara sekaligus atap perlindungan yang paling nyata.
Laporan : Sabri

Editor : Alimuddin
WAJO — Pasar Rakyat Salojampu berdiri di atas kompromi. Antara kebutuhan dan keterbatasan. Antara hidup yang harus berjalan dan perlindungan yang tak pernah benar-benar selesai. Terpal lusuh menjadi atap, kayu tua menjadi tiang, dan lorong sempit menjadi ruang hidup ribuan kepentingan kecil yang saling bersinggungan setiap hari pasar.
Di tempat seperti ini, keamanan bukan konsep abstrak. Ia hadir atau tidak hadir sama sekali.
Sabtu pagi, 13 Desember 2025, sejak pukul 09.00 WITA, pasar itu kembali penuh. Timbangan bergerak cepat. Uang receh berpindah tangan. Orang-orang datang dengan harapan sederhana: dagangan habis, belanja cukup, pulang tanpa kehilangan. Di tengah keramaian itu, seragam abu-abu berdiri—diam, nyaris tak mencolok, tetapi menentukan.
Polsek Sabbangparu menggelar pengamanan terbuka dan tertutup. Pengamanan yang, di atas kertas, rutin. Namun di lapangan, rutin bukan berarti sepele. Di pasar rakyat, satu momen lengah bisa berarti dompet raib, modal lenyap, atau pertengkaran kecil yang membesar.
Pengamanan dipimpin BRIPKA Haryadi. Bersama personel lainnya, ia menyusuri lorong pasar yang memaksa orang berpapasan tanpa jarak. Di ruang sempit seperti itu, kejahatan kecil hidup dari kedekatan dan kelengahan. Tidak dramatis, tetapi sangat berdampak.
Polisi memilih cara yang jarang disorot: berbicara. Patroli dialogis dilakukan dengan pedagang dan pembeli. Pesan kamtibmas disampaikan tanpa pengeras suara, tanpa nada mengancam. Negara, di ruang ini, tidak memerintah—ia hadir.
Di luar pasar, jalan poros Sengkang–Soppeng menegang oleh lalu lintas hari pasar. Kendaraan berhenti sembarang, pejalan kaki mencari celah, pedagang dadakan muncul di bahu jalan. Polisi mengatur arus, bukan hanya agar lalu lintas bergerak, tetapi agar ruang publik tidak runtuh oleh ketergesaan kolektif.
Pasar rakyat selalu menjadi cermin paling jujur bagi negara. Di sanalah terlihat seberapa cepat perlindungan datang, dan seberapa tipis batas antara aman dan kehilangan. Tidak ada pagar tinggi, tidak ada sistem digital. Yang tersisa sering kali hanya kehadiran manusia berseragam.
Kehadiran polisi di Pasar Rakyat Salojampu tidak menyelesaikan persoalan struktural. Ia tidak memperbaiki infrastruktur pasar yang darurat, tidak mengubah desain ruang yang padat dan rawan, tidak menjamin keamanan esok hari. Namun ia memberi sesuatu yang lebih mendasar: jeda dari kecemasan.
Pedagang menata dagangan tanpa terus-menerus menoleh ke belakang. Pembeli melangkah tanpa menggenggam tas terlalu erat. Rasa aman, meski sementara, memungkinkan ekonomi kecil tetap bergerak.
Polsek Sabbangparu mengimbau masyarakat untuk ikut menjaga ketertiban, saling mengingatkan, dan melapor jika menemukan hal mencurigakan. Sebab keamanan tidak pernah bisa diborong satu institusi. Ia tumbuh dari relasi—antara negara yang hadir dan warga yang peduli.
Di bawah terpal yang bocor itu, negara memang tidak menjanjikan perlindungan sempurna. Tetapi ketika seragam berdiri di tengah pasar, ia menjadi simbol paling konkret dari satu hal yang sering langka: kehadiran.
Dan di Pasar Rakyat Salojampu, pagi itu, seragam itulah satu-satunya atap yang benar-benar bisa diandalkan. (Sumber: Humas Polres Wajo)












