Keterangan Gambar:
Jajaran personel kepolisian dan jamaah masjid larut dalam hening doa saat Salat Gaib di Masjid Al-Aqsa 2003, mengirimkan solidaritas bagi para korban bencana alam di berbagai daerah Indonesia (5/12/2025
Laporan : Syamsuddin Andy
Editor : Alimuddin
Di Ruang yang Menyimpan Sunyi
Tidak ada tanda-tanda khusus ketika waktu menunjuk pukul 12.30 siang di Masjid Al-Aqsa 2003. Namun siapa pun yang masuk pada hari itu akan merasakan sesuatu yang berbeda. Udara seolah mengeraskan dirinya, menahan gema langkah-langkah yang masuk. Cahaya yang jatuh dari jendela-jendela kayu tampak lebih lembut, seperti enggan mengusik mereka yang datang membawa beban tak kasatmata.
Di saf depan, beberapa personel kepolisian berdiri dengan seragam yang memantulkan warna lembut. Di antara kain abu-abu, tampak sorot mata yang tidak lagi sibuk dengan tugas jaga, laporan, atau panggilan radio. Ada yang menatap lantai masjid seperti sedang membaca sesuatu yang tidak tertulis. Ada yang memejam perlahan, seolah berusaha mendengar suara dari tempat yang jauh—tempat di mana banjir merendam desa-desa Aceh, tempat di mana Semeru mengiupkan debu yang membuat sebuah kampung kembali gelap.
Siang itu, Polres Soppeng bersiap melaksanakan Salat Gaib. Sebuah ibadah yang, dalam tradisi Islam, menjadi penanda bahwa sebuah kehilangan benar-benar telah terjadi. Bahwa ada nyawa yang telah kembali kepada Sang Pemilik, tanpa sempat terlihat tubuhnya.
Tapi lebih dari itu, Salat Gaib siang itu berubah menjadi tempat pertemuan: antara tugas negara dan perenungan manusia, antara aparat dan rakyat, antara mereka yang masih hidup dan mereka yang telah pergi.
Ketika Indonesia Seolah Tidak Selesai Menangis
Musim penghujan tahun ini datang dengan watak yang sulit ditebak. Di Aceh, air bah turun seolah tanpa mengetuk pintu. Sungai yang kemarin tampak jinak tiba-tiba meluap, membawa batang pohon, atap seng, dan cerita-cerita pendek yang terputus di tengah malam. Di Sumatera Utara dan Sumatera Barat, banjir menyergap pemukiman, merayap ke sekolah-sekolah, bahkan ke halaman rumah ibadah.
Sementara itu, di Jawa Timur, Gunung Semeru—yang telah lama menjadi penanda arah bagi warga Lumajang—kembali murka. Asap dan abu menudungi wilayah itu seperti kabut pekat yang tidak mau menyingkir. Desa-desa yang baru saja memulai kembali hidup setelah erupsi beberapa tahun lalu, kini harus kembali memukul gong evakuasi.
Semua bencana itu muncul hampir bersamaan, seperti rangkaian luka yang tidak memberi waktu bagi bangsa ini untuk bernapas.
Dan Soppeng, sebuah kota yang jauh dari pusat bencana itu, tiba-tiba merasakan kedekatan emosional yang tidak terduga.
Telegram yang Menyeberangkan Empati
Instruksi itu turun melalui Surat Telegram Kapolri, yang meminta seluruh Polda dan Polres di Indonesia melaksanakan Salat Gaib sebagai bentuk solidaritas. Bagi sebagian orang, sebuah surat perintah mungkin terasa administratif. Tapi ketika sampai di tangan para anggota kepolisian di Soppeng, perintah itu berubah menjadi sebuah ruang kontemplatif.
Kapolres Soppeng AKBP Aditya Pradana, dalam sebuah percakapan setelah ibadah, menyatakan bahwa perintah tersebut bukan sekadar penugasan. Ia melihatnya sebagai upaya untuk menjaga nurani aparat agar tetap hidup.
“Kegiatan seperti ini bukan semata perintah. Ini ruang untuk kembali melihat sisi manusia yang terkadang tertimbun oleh tugas-tugas keras. Kita ingin tetap merawat itu,” ujarnya dengan nada pelan.
Kata “merawat” itu terasa penting. Karena sejauh ini, publik kerap melihat polisi melalui kaca yang hanya menunjukkan kedisiplinan, ketegasan, bahkan kekerasan jika situasi memaksa. Namun jarang publik melihat polisi pada momen paling manusiawinya: saat mereka menjadi bagian dari duka yang lebih luas.
Ketika Masjid Menjadi Ruang yang Menghubungkan
Masjid Al-Aqsa 2003 menjadi saksi momen langka itu. Usai Salat Jumat, imam masjid, Ust. H. Sukarding, berdiri dengan jubah rapi dan suara tenang. Ia memulai Salat Gaib dengan intonasi yang pelan, seakan memahami betapa pentingnya setiap kata yang akan diucapkannya.
Suasana di dalam masjid mirip halaman rumah yang tiba-tiba ditinggalkan angin. Tidak ada suara lain kecuali suara imam dan desah napas orang-orang yang menunduk. Ketika takbir dikumandangkan, para jemaah mengangkat tangan mereka serentak—mengirimkan hening yang panjang ke berbagai penjuru Nusantara.
Lalu doa-doa itu mengalir, tanpa terburu-buru, tanpa retorika. Masing-masing orang membawa bayangan sendiri tentang bencana: tentang rumah yang hanyut, tentang anak kecil yang kehilangan ibunya, tentang warga desa yang tidak sempat menyelamatkan apa pun.
Dalam momen itu, seolah batas antara Soppeng dan Aceh, antara Soppeng dan Lumajang, hilang begitu saja.
Polisi, Hening, dan Sisi Lain yang Jarang Diwartakan
Ada hal menarik yang selalu tampak dalam kegiatan Salat Gaib: intensitas. Personel yang biasanya terlihat tegar, tiba-tiba tampak rapuh dengan cara yang wajar. Rapuh karena peduli. Rapuh karena merasakan. Rapuh karena ingat bahwa tugas bukan hanya soal garis komando, tetapi soal hati.
Kapolres Aditya menyebut bahwa momen seperti ini mengasah integritas.
“Ketika seseorang mendoakan orang lain, di situ ada keikhlasan. Dan keikhlasan itu penting bagi setiap petugas yang bekerja membawa nama negara,” tuturnya.
Pernyataan itu terasa seperti potongan dari sebuah esai moral. Bahwa integritas bukanlah sesuatu yang dihafalkan saat apel, tetapi sesuatu yang tumbuh ketika seseorang menadahkan tangan dan sadar bahwa tidak semua hal di dunia ini bisa dikendalikan oleh perintah.
Sebuah Doa Panjang yang Menjadi Jembatan
Para personel yang hadir siang itu mungkin tidak mengenal korban banjir di Aceh atau warga yang mengungsi di kaki Semeru. Mereka tidak tahu nama-nama anak yang kehilangan orang tua, atau para ibu yang harus menjahit kembali hidupnya dari nol.
Namun di dalam masjid kecil di Kabupaten Soppeng itu, mereka mencoba merasakan kehadiran mereka melalui doa.
Sebagai manusia, mereka tahu bahwa doa tidak selalu menyelesaikan masalah. Tapi doa mampu menyambungkan rasa—rasa peduli, rasa sepenanggungan, rasa ingin membantu meski hanya dengan suara lirih yang naik ke langit-langit masjid.
Dan kadang, itu sudah cukup. Karena sebelum tindakan, manusia butuh empati. Dan sebelum empati, manusia butuh hening.
Setelah Doa Ditutup
Ketika imam menutup doa, beberapa orang tetap tidak bergerak. Mereka tinggal lebih lama dalam posisi menunduk, seakan ada sesuatu yang ingin mereka simpan untuk diri sendiri. Ada yang menyeka sudut mata, ada yang menarik napas panjang, ada pula yang menatap jendela masjid yang memantulkan cahaya sore.
Di luar masjid, suara motor mulai terdengar lagi. Dunia bergerak seperti biasa. Laporan akan kembali diketik, radio akan kembali berbunyi, dan patroli akan kembali berjalan.
Namun sesuatu dari dalam masjid itu menetap. Sebuah rasa yang tidak tampak, tetapi hadir. Rasa bahwa bangsa ini tidak hanya disatukan oleh bendera atau undang-undang, tetapi oleh sesuatu yang lebih lembut: doa, duka, dan harapan.
Jejak yang Tertinggal di Masjid Kayu Itu
Beberapa jam setelah kegiatan selesai, Masjid Al-Aqsa 2003 kembali sepi. Namun jika seseorang duduk di dalamnya, mungkin ia akan menyadari sesuatu: keheningan siang itu masih menggantung, enggan pergi. Seolah doa-doa yang dipanjatkan belum sepenuhnya naik, masih menunggu sesuatu, mungkin sebuah niat baru, mungkin tekad baru.
Di sinilah inti dari semuanya: Salat Gaib bukan hanya ritual. Ia adalah cara sebuah institusi—Polres Soppeng—menegaskan bahwa mereka hadir bukan hanya sebagai aparat, tetapi sebagai manusia yang mau berbagi duka.
Bahwa tugas negara tidak menghapus ruang untuk menangis, merenung, dan mengirimkan doa.
Dan bahwa di tengah bencana, yang bisa kita lakukan bukan hanya menolong dengan tangan, tetapi juga menguatkan dengan hati. (Sumber: Humas Polres Soppeng)







