Keterangan Gambar :
Sejumlah Anggota Polres Soppeng mengikuti kegiatan Pembinaan Rohani dan Mental (Binrohtal) di Masjid Al-Aqso 2003. Di tengah kritik publik terhadap integritas aparat, kegiatan ini menjadi ruang refleksi bagi personel untuk menata kembali nilai moral dalam menjalankan tugas.
Laporan : Syamsuddin Andy
Editor : Alimuddin
Di Masjid Al-Aqso 2003 Polres Soppeng, pagi itu para anggota Polri menunduk dalam keheningan. Ayat-ayat suci dibacakan perlahan, seperti menapaki kembali jejak nilai yang sering terkikis oleh kerasnya tugas. Dari luar, kegiatan Pembinaan Rohani dan Mental (Binrohtal) tampak sederhana. Tetapi di balik suasana teduh itu, terhampar persoalan yang lebih besar: bagaimana polisi menjaga integritas ketika godaan kekuasaan, tekanan tugas, dan tuntutan publik terus menggerus batas moral?
Ruang Teduh yang Menyimpan Pertanyaan
Kamis, 11 Desember 2025, Polres Soppeng mengumpulkan seluruh anggotanya dalam program Binrohtal. Agenda rutin ini sering dianggap sebagai kegiatan administratif. Namun konteks sosial yang melingkupinya membuat pembinaan rohani hari itu terasa lebih mendesak.
Dalam catatan nasional, institusi kepolisian tengah berada dalam sorotan panjang. Kasus penyalahgunaan diskresi, tindakan berlebihan, dan perilaku menyimpang beberapa oknum membuat kepercayaan publik berayun antara ragu dan berharap. Karena itu, ruang sunyi masjid pagi itu tampak seperti cermin: tempat para anggota melihat kembali diri mereka, tanpa sirene, tanpa pangkat, tanpa formalitas komando.
Pertanyaan yang terbit dari suasana itu sederhana namun berat: apakah pembinaan moral mampu benar-benar meresap, atau hanya menjadi jeda yang lekas terlupakan ketika dinas kembali menuntut ketegasan?
Antara Tugas yang Kompleks dan Batas Moral yang Tipis
Kapolres Soppeng, AKBP Aditya Pradana, S.I.K., M.I.K., menegaskan bahwa kegiatan ini bukan sekadar ritual. Baginya, pembinaan rohani adalah pagar tak kasat mata yang harus tetap dipancangkan di tengah dunia kepolisian yang makin kompleks.
“Ketegasan polisi harus berjalan bersama ketenangan hati. Kalau tidak, keputusan bisa melenceng dari etika,” ujarnya dalam sesi pembinaan itu.
Pernyataan tersebut menyinggung isu yang sering menjadi titik kritis dalam pekerjaan polisi: ketegasan yang melampaui batas, yang dalam sejumlah kasus di Indonesia berujung pada pelanggaran. Ketika tekanan lapangan tinggi—kasus kekerasan rumah tangga, sengketa lahan, kriminalitas yang muncul tiba-tiba—keputusan instan acap kali dibuat berdasarkan adrenalin, bukan etika.
Di sinilah jejak moral aparat diuji.
Tantangan di Balik Seragam: “Kekuatan” yang Bisa Menipu
Dalam berbagai liputan investigatif nasional, penyalahgunaan wewenang oleh aparat seringkali berawal dari hal sepele: kelelahan, ego, jabatan, atau godaan kecil yang lama-lama membesar. Seorang perwira senior Polri dalam wawancara lain pernah mengungkap bahwa “yang paling sulit dijaga pada polisi bukan pistolnya, tetapi dirinya sendiri.”
Binrohtal di Polres Soppeng mengambil ruang itu: mencoba menjangkau sisi yang tak bisa disentuh oleh SOP, tidak bisa diukur dengan barometer disiplin, tetapi menentukan seluruh perilaku—kesadaran moral.
Ruang pembinaan itu mengingatkan pada fakta bahwa integritas polisi bukan hanya urusan profesional, tetapi urusan batin. Dan batin adalah medan yang jauh lebih rumit daripada sekadar patroli malam atau penanganan perkara.
Kedisiplinan yang Dibangun di Atas Kesadaran, Bukan Ketakutan
Di masjid pagi itu, para anggota duduk berdekatan. Petinggi dan personel setara di karpet merah marun yang sama. Dalam atmosfer tanpa hirarki itu, tersirat sebuah pesan: otoritas hanya bermakna jika diikat oleh nilai.
Kegiatan Binrohtal bukan hanya soal hafalan ayat atau ceramah singkat. Ia adalah instrumen membangun budaya organisasi yang lebih sehat: ruang untuk menurunkan tensi, memperbaiki relasi internal, dan mengingatkan bahwa kekuasaan aparat adalah amanah publik—bukan hak istimewa pribadi.
Di sinilah, menurut sejumlah pengamat kepolisian, institusi bisa mulai memperbaiki luka-luka kepercayaan publik. Pembinaan mental adalah langkah kecil, tetapi langkah yang mengarah ke jantung persoalan: membangun polisi yang lebih manusiawi.
Mencari Jawaban di Tengah Kritik Publik
Tekanan publik terhadap Polri tidak kecil. Masyarakat menuntut lebih, berharap lebih. Sekecil apa pun kekeliruan aparat, dampaknya merambat cepat. Di tengah tuntutan itu, polisi berada di persimpangan: memilih tetap memegang prinsip atau menyerah pada tekanan situasional.
Binrohtal di Polres Soppeng, dengan segala kesederhanaannya, menjadi “laboratorium kecil” bagi institusi untuk menakar ulang nilai dasar. Ia bukan solusi tunggal, namun fondasi penting.
Sebab dalam pekerjaan di mana keputusan sekian detik dapat menentukan hidup orang lain, moralitas bukan sekadar pelengkap—itulah inti dari profesi kepolisian.
Penutup
Pagi itu, setelah pembacaan ayat-ayat selesai, para anggota bangkit perlahan. Seragam kembali melekat, radio komunikasi kembali menyala, dan laporan menunggu di pos masing-masing. Tetapi ada sesuatu yang diharapkan tertinggal di ruang masjid itu: kesadaran bahwa sebelum memegang kewenangan negara, mereka harus lebih dulu memegang teguh nurani.
Di ruang sunyi itu, integritas bukan sekadar kata. Ia sedang dicoba dijahit ulang—pelan, tapi tegas. (Sumber : Polres Soppeng)






