Bhabinkamtibmas di Titik Batas: Menyatukan Warga yang Hampir Terbelah

Keteangn Gambar :

Aparat desa bersama Bhabinkamtibmas meninjau lokasi sengketa di Dusun Amassangeng. Di bawah rimbun daun pisang, proses mediasi berlangsung hingga akhirnya kedua pihak sepakat berdamai secara kekeluargaan.


Laporan : Syamsuddin Andy

Editor : Alimuddin


DI ANTARA BAYANG- BAYANG PISANG:

Kisah Dua Warga, Dua Batas, dan Satu Desa yang Menjaga Harmoni

Di Lorong Tanah Itu, Angin Seakan Ikut Menahan Napas

SOPPENG, SULSEL – DI sebuah lorong sempit beralas kerikil di Dusun Amassangeng, siang hari yang terik berubah menjadi panggung drama kecil tentang batas dan harga diri. Cahaya matahari, yang menembus rimbun daun pisang, jatuh tepat pada tanah yang dipersoalkan—seolah alam sendiri sedang menyoroti kisah dua warga yang nyaris terbelah oleh sehelai garis.

Di bawah naungan pepohonan itu, aparat desa, Bhabinkamtibmas, dan warga berdiri mengelilingi sebidang tanah seperti menyaksikan babak penting dalam hidup kampung kecil itu. Langkah kaki pelan, suara-suara teredam, dan desir angin yang hinggap pada dinding rumah kayu menambah nuansa dramatis yang sulit dipungkiri.


AWAL PERSENGKETAAN

Garis yang Tak Terlihat, Tapi Membelah Kedamaian

Tanah—sering kali benda mati itu dapat menjadi alasan perpecahan. Antara R dan H, batas tanah yang tak seberapa luas itu mendadak berubah menjadi tembok emosi. Di desa yang biasanya tenang, riak mulai muncul: bisik-bisik, tatapan panjang, percakapan yang dipotong setengah.

Maka Senin siang, 8 Desember 2025, aparat Desa Pising bersama Bhabinkamtibmas Desa Pesse–Pising, Bripka Muhammad Qadri, memilih turun langsung ke lokasi. Tanpa ruang formal, tanpa meja panjang. Hanya tanah dan saksi-saksi alam—pohon pisang, dinding kayu, dan langit yang tampak tenang.


MEDIASI LAPANGAN

Mengukur Tanah, Menimbang Perasaan

Proses mediasi bukan sekadar menarik meteran dan mematok garis. Ada emosi yang harus dihormati dan ada harapan yang perlu dipertimbangkan. Bripka Qadri, dengan bahasa lembut namun tegas, meminta kedua belah pihak membuka ruang dialog.

Ia menggerakkan tangan, menunjuk batas-batas yang diukur. Setiap angka yang disebutkan seperti mengetuk pintu hati kedua belah pihak. Sesekali satu pihak menghela napas panjang, pihak lain menunduk seolah tengah menurunkan ego.

Di antara sorotan mata itu, yang terasa bukan sekadar sengketa tanah—melainkan ujian bagi nilai-nilai kekeluargaan yang telah lama menjadi pondasi masyarakat Bugis.


POLISI HUMANIS DI UJUNG JALAN

Ketika Seragam Tak Selalu Harus Kaku

Bripka Muhammad Qadri, berdiri dengan sikap tenang, menawarkan bukan sekadar penyelesaian hukum, tapi jalan damai. Ia menyampaikan pesan sederhana namun dalam: bahwa kampung kecil seperti Amassangeng hanya akan kuat jika warganya tetap bersaudara.

Pemerintah Desa Pising yang hadir pun mengulang pesan serupa. Mediasi berlangsung tanpa suara tinggi, tanpa bentakan. Yang terdengar hanya suara batu kerikil bergeser ketika seseorang mengubah posisi kaki—tanda bahwa emosi sedang ditata ulang.


DAMAI ITU DISETUJUI

Ketika Batas Bukan Lagi Pemisah, Melainkan Pelajaran

Setelah serangkaian pengukuran dan diskusi, keputusan dibuat. R dan H akhirnya sepakat menerima batas tanah yang telah ditegaskan melalui mediasi.

Di momen itu, ada perubahan kecil namun nyata: postur tubuh yang tadinya tegang perlahan melembut; tangan yang sebelumnya disilangkan mulai terkulai santai; senyum samar muncul di wajah keduanya. Inilah tanda bahwa damai kembali menemukan jalannya.

Kapolres Soppeng, AKBP Aditya Pradana, S.I.K., M.I.K., mengapresiasi langkah cepat Bhabinkamtibmas.

“Polri harus jadi penyejuk, bukan sekadar penegak hukum. Musyawarah adalah jalan pertama kami,” katanya.


HARAPAN YANG TUMBUH DI TANAH KERING

Pelajaran dari Sebidang Tanah yang Hampir Memecah Dua Hati

Di banyak tempat, sengketa tanah sering berakhir dengan luka panjang. Tapi di Desa Pising, kisahnya berbeda. Tanah yang retak tak dibiarkan melebar. Ia disiram dengan musyawarah, dijaga dengan saling memahami, dan akhirnya ditutup dengan damai.

Warga berharap, apa yang terjadi hari itu menjadi pengingat bahwa batas tanah boleh ditarik dengan meteran—namun batas hati hanya bisa ditarik dengan kebijaksanaan. (Sumber: Humas Polres Soppeng)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *