Menjaga Pagi Lalabata

POLRI104 Dilihat

Keterangan Gambar:

Personel Polsek Lalabata berdiri di tengah jalan basah, mengatur arus kendaraan dan memastikan warga memulai hari dengan aman. Komitmen senyap mereka menjadi bagian penting dari ritme pagi di Kecamatan Lalabata, Soppeng.


Reporter: Syamsuddin Andy

Editor: Alimuddin


Sebuah Kisah Panjang dari Jalan Basah Soppeng: Tentang Polisi, Peluit, dan Dedikasi yang Tidak Pernah Terlihat Sepenuhnya


Ketika Hari Bertumbuh dari Diam

SOPPENG, SULSEL — Ada saat di dalam sebuah kota ketika suara-suara belum benar-benar mulai, namun kehidupan telah mengintip dari celah-celah pagi. Setelah hujan semalam merapikan debu di aspal, udara Lalabata terasa seperti lembaran baru yang masih kosong—siap diisi dengan langkah-langkah kecil yang menentukan arah hari itu.

Pagi di Soppeng tidak sekadar sebuah waktu; ia adalah ruang. Ruang untuk kembali memulai, ruang untuk menata ulang ritme hidup. Dan di ruang pagi itu, ketika bayangan bangunan masih memanjang, berdirilah dua sosok yang keberadaannya sering kita lewati tanpa benar-benar memperhatikan: polisi yang menjaga pintu masuk hari.

AIPTU Suherman dan AIPDA Ibrahim, dua nama yang mungkin tak muncul di buku sejarah besar, tetapi selalu hadir di catatan sehari-hari masyarakat Lalabata.


Basah yang Menyimpan Cerita

Jalan sebagai Cermin Kota

Aspal hitam itu mengilap, memantulkan lampu kendaraan yang baru dinyalakan, dan sesekali menampilkan bayangan petugas yang berdiri tegak. Kadang kita lupa bahwa jalanan memiliki ingatan—tentang jejak, tentang ban yang melintas, tentang hujan yang jatuh, dan tentang mereka yang menjaganya.

Ketika jam menunjuk pukul 07.00 Wita, aktivitas manusia mulai merayap. Perlahan, lalu tiba-tiba ramai. Sebuah mobil putih melaju dari arah barat, motor kecil menanjak pelan, seorang pria paruh baya menyeberang dengan langkah ragu. Semua itu, jika dibiarkan tanpa kendali, dapat berubah menjadi kekalutan kecil yang mengganggu pagi.

Tetapi hari itu, dua polisi menjahit ulang ritme ruas jalan itu dengan gerakan-gerakan yang sederhana namun presisi—mengubah potensi kekacauan menjadi harmoni.


Seni Mengatur Arus

Polisi sebagai Koreografer Pagi

Ada keindahan yang jarang diucapkan dalam pekerjaan polisi lalu lintas. Mereka adalah koreografer yang menyatukan puluhan kendaraan ke dalam sebuah tarian yang tidak pernah direpaskan, tidak pernah diulang, namun harus selalu berjalan mulus.

Gerangan tangan AIPTU Suherman seolah menciptakan jarak aman antara kendaraan. Gerakan pelan yang tegas, seperti seorang guru tua yang paham betul cara terbaik menenangkan murid-muridnya.

Di seberang, AIPDA Ibrahim meniup peluit—suaranya memantul pada atap-atap rumah, lalu menghilang di tikungan kecil menuju Pasar Sentral Soppeng. Peluit itu bukan sekadar instrumen; ia adalah bahasa. Bahasa ketertiban.

Sebuah mobil berhenti. Motor melaju. Pejalan kaki menyeberang. Tidak satupun yang sadar bahwa mereka sebenarnya sedang mengikuti seorang pemimpin yang berdiri di tengah jalan basah.


Warga yang Melintas, Pagi yang Terasa Aman

Ketika Kata Terima Kasih Tidak Diucapkan, Namun Terasa

Di balik visor helm yang berkabut karena hujan, seorang ibu tersenyum kecil ketika melintas di depan petugas. Ia tidak mengucapkan kata apa pun, namun mengangguk halus sebagai tanda hormat.

Seorang pegawai kantor yang terburu-buru sempat menyembulkan kepala dari dalam mobilnya untuk berkata pelan, “Terima kasih, Pak. Lancar sekali pagi ini.”

Sementara itu, seorang pedagang sarapan yang membuka lapaknya lebih awal menatap ke arah dua polisi itu dan mendesah kecil, seolah mengingatkan dirinya bahwa dedikasi tidak selalu datang dari gedung-gedung besar atau meja-meja berpendingin udara. Kadang, dedikasi itu berdiri di depan matanya—di tengah jalan.


Commander Wish, Filosofi Kehadiran

Pelayanan Publik Sebagai Tindakan Senyap

Commander Wish hanyalah dua kata yang mungkin terdengar teknis bagi sebagian orang. Namun di baliknya, terdapat sebuah gagasan besar:

Bahwa kehadiran adalah bentuk pelayanan tertinggi.

Tidak perlu pidato panjang. Tidak perlu deklarasi. Cukup hadir, cukup berjaga, cukup memberikan tanda tangan yang menenangkan kepada masyarakat.

Dan itulah yang dilakukan Suherman dan Ibrahim.
Kehadiran mereka adalah bentuk pelayanan yang tidak diiklankan, tetapi selalu dirasakan.

Kapolres Soppeng, AKBP Aditya Pradana, S.I.K., M.I.K., mengatakan bahwa pelayanan di pagi hari adalah “jam emas”—waktu ketika kehadiran polisi bukan hanya dibutuhkan, tetapi ditunggu.

“Commander Wish memastikan personel hadir di titik pelayanan masyarakat pada jam rawan. Kehadiran itu membuat warga merasa aman,” ungkapnya.

Kalimat itu tidak hanya benar secara prosedural, tetapi juga secara emosional.


Hikmah Kecil dari Jalan Basah

Pelajaran dari Sebuah Awal Hari

Ketertiban tidak selalu datang dari aturan besar.
Kadang ia lahir dari gerak sederhana: sebuah tangan terangkat, sebuah peluit ditiup, sebuah senyuman diberikan.

Dan keamanan bukan selalu perkaran menahan bahaya.
Ia adalah perasaan bahwa seseorang menjaga kita, bahkan ketika kita tidak menyadarinya.

Hari itu, Lalabata memulai paginya dengan aman.
Bukan karena tidak ada ancaman, tetapi karena ada yang berdiri menjaga sebelum ancaman itu muncul.

Dua petugas itu tidak sedang menaklukkan dunia.
Mereka hanya membantu kota kecil ini memulai hari.
Namun kadang, hal itulah yang paling berarti.


Di Sebuah Kota yang Tidak Pernah Lupa Berterima Kasih

Ketika pukul 07.30 tiba, arus lalu lintas kembali stabil. Jalanan terasa lebih tenang, lebih teratur, lebih siap menghadapi hiruk-pikuk berikutnya.

AIPTU Suherman dan AIPDA Ibrahim berjalan kembali ke dalam Mako Polsek Lalabata. Tidak ada sambutan. Tidak ada tepuk tangan. Tidak ada publikasi besar.

Namun di balik kaca mobil-mobil yang lewat, di balik helm-helm tertutup, di balik langkah-langkah warga yang menyeberang, ada rasa terima kasih yang diam-diam tumbuh.

Lalabata mungkin tidak menggelar karpet merah bagi mereka.
Namun kota ini, dalam diamnya, menyimpan rasa hormat yang tidak kalah megah.

Karena setiap pagi yang aman selalu dimulai oleh mereka yang hadir lebih dulu daripada matahari. (Sumber: Humas Polres Soppeng)

.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *