Keterangan Gambar:
Seorang pejabat Polda Sulsel memberikan keterangan pers kepada awak media mengenai perkembangan terbaru penyidikan kasus penculikan dan perdagangan anak.
Di Tengah Sorotan Kamera, Pemaparan Kapolda Sulsel Membuka Bingkai Lebih Luas Tentang Rantai Perdagangan Anak yang Beroperasi Lintas Provinsi dan Memperjualbelikan Harapan Generasi Kecil
MAKASSAR, – Suasana di lobi Mapolda Sulawesi Selatan siang itu terasa berbeda. Raut serius para jurnalis, langkah tergesa para pewarta foto, dan deru peralatan liputan menjadi pertanda bahwa sebuah kabar besar tengah dinantikan. Di tengah sorotan kamera, seorang pejabat tinggi kepolisian berdiri tegak, memulai penjelasan resmi yang menyentuh kepentingan publik: perkembangan penyidikan kasus penculikan dan perdagangan anak.
Di belakangnya, deretan pejabat utama Polda Sulsel berdiri mendampingi—mewakili keseriusan institusi dalam membongkar jaringan kejahatan yang memperjualbelikan masa depan anak-anak Indonesia.
Dengan suara mantap, Kapolda Sulsel membuka pemaparannya. “Ini bukan sekadar perkara hukum. Ini tentang hak hidup seorang anak, tentang masa depan yang seharusnya mereka genggam,” ujarnya.
Kalimat itu mengalun di udara, menegaskan bahwa apa yang terjadi jauh lebih gelap daripada angka-angka yang biasa tertulis dalam laporan penyidikan.
Kasus pertama menyeruak dari Makassar. Tersangka SY, yang hidup dalam tekanan ekonomi dan lilitan persoalan pribadi, mengakui telah menyerahkan tiga anak kandungnya kepada pihak yang hingga kini belum teridentifikasi. Setiap anak dihargai hanya Rp300.000—angka yang tak sebanding dengan nilai moral dan kemanusiaan yang hilang.
Dua anak lainnya, yang luput dari penjualan, kini berada dalam perlindungan UPTD PPA Kota Makassar. Mereka menjalani pendampingan intensif, baik psikologis maupun sosial, demi memastikan luka batin yang mereka alami tak meninggalkan bekas jangka panjang.
Pengungkapan Kasus Itu Membuka Pintu ke Kasus Lain—lebih Luas, Lebih Sistematis, dan Lebih Berjejak Teknologi
Tersangka NH dari Sukoharjo memanfaatkan media sosial Facebook dan Instagram, bukan untuk berbagi kabar bahagia, melainkan menawarkan jalan belakang adopsi ilegal. Dengan balasan jutaan rupiah tiap transaksi, ia menghubungkan ibu bayi di Jakarta dengan pihak-pihak yang mencari bayi “tanpa prosedur”.
Salah satu pihak tersebut adalah MA, seorang pelaku yang diduga mengelola arus masuk dan keluar bayi di wilayah Jambi. Ia membeli bayi dengan harga Rp16–22 juta, lalu menjualnya kembali hingga Rp28 juta. Angka-angka itu memperlihatkan bahwa bayi yang seharusnya disayang, digendong, dan tumbuh dalam kasih sayang, telah diperlakukan seperti barang dagangan.
Rantai gelap itu semakin jelas ketika penyidik menemukan peran AS dan seorang sopir yang mengantar sembilan anak dari berbagai daerah menuju Jambi. Perjalanan itu bukan sekadar pemindahan fisik; ia adalah potret kerasnya operasi sebuah jaringan yang bekerja dalam senyap.
Setiap fakta baru menambah keyakinan penyidik bahwa jaringan ini bukan kelompok kecil dan tidak berdiri sendiri. Ia terstruktur, lintas wilayah, dan memiliki peran yang saling terhubung.
Aktivitas penyidikan kini berlangsung maraton. Polda Sulsel bekerja bersama Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri dan Direktorat PPA-PPO. Kolaborasi lintas instansi ini penting, karena jalur perdagangan anak telah menembus Sukoharjo, Yogyakarta, Jakarta, Makassar, hingga Jambi.
Kapolda Sulsel menegaskan, “Pengungkapan tidak berhenti pada para tersangka yang telah ditahan. Kami terus mendalami pihak lain yang diduga terlibat.”
Nada tegas itu menggambarkan bahwa perjuangan menyelamatkan anak-anak ini belum selesai. Jalan masih panjang, namun komitmen institusi untuk menuntaskan persoalan ini semakin kuat.
Di akhir doorstop, suasana kembali hening. Para pewarta membungkuk di balik kamera, memastikan setiap kata terekam, setiap fakta tertulis. Karena apa yang terjadi hari ini tidak hanya memotret kerja penyidik, tetapi juga menjadi pengingat bahwa di tengah hiruk pikuk kehidupan, ada anak-anak yang harus diperjuangkan haknya untuk tumbuh aman, merdeka, dan bahagia. (*/Masykur Thahir)











