Jalan Desa dan Anggaran yang Tak Pernah Sampai Catatan Kecil dari Goarie

INOVASI DESA31 Dilihat

Kades Goarie Andi Sillang, S.E.


Penulis : Syukur Mariorante Katalawala


SOPPENG — Pembangunan kerap lahir dari ruang-ruang formal bernama Musrenbang. Di sana, aspirasi desa disusun rapi, diberi nomor, lalu diantrekan bersama ratusan usulan lain. Namun di Desa Goarie, Kecamatan Mariowawo, jalan justru dibangun bukan karena lolos seleksi perencanaan, melainkan karena terlalu lama menunggu giliran.

Di desa ini, Andi Sillang, S.E., Kepala Desa Goarie, memilih tidak menunggu terlalu lama. Ia bekerja dari kebutuhan yang paling nyata—jalan yang dilalui petani setiap hari.

Jalan yang Selalu Gugur di Meja Perencanaan

Selama bertahun-tahun, akses jalan dari Kampung Lapince menuju Bunne nyaris selalu hadir dalam forum perencanaan desa. Usulan itu berulang kali dibawa ke Musrenbang kecamatan hingga kabupaten. Namun seperti banyak jalan desa lain, ia kerap gugur di tahap penganggaran.

Alasannya klasik: keterbatasan anggaran, skala prioritas, atau kalah oleh proyek yang lebih “strategis”. Padahal, bagi warga Goarie, jalan inilah yang menentukan lancar tidaknya ekonomi harian mereka.

Kini, enam kilometer jalan itu dirintis dengan kemampuan desa sendiri. Ia membelah sawah dan perkebunan, menjadi bukti bahwa kebutuhan riil sering kali harus menunggu inisiatif lokal ketika kebijakan daerah terlalu sibuk menata etalase pembangunan.

Ketika Standar Anggaran Tak Membaca Medan

Pola penganggaran infrastruktur daerah cenderung seragam: beton dan aspal, dengan spesifikasi teknis yang kerap mengabaikan kondisi lokal. Di Goarie, tanahnya labil, mengandung air, dan rawan longsor. Beton bukan solusi, melainkan risiko.

“Kalau dipaksakan, tidak lama bertahan,” kata Andi Sillang.

Namun pendekatan alternatif seperti pengerasan jalan—yang lebih adaptif dan murah—sering dianggap tidak memenuhi standar proyek daerah. Di titik ini, kebijakan justru mengunci fleksibilitas desa, seolah pembangunan hanya sah jika mahal dan seragam.

Rembuk Warga yang Tak Pernah Masuk RKA

Sebagian lintasan jalan melewati tanah warga. Tidak ada pembebasan lahan dalam skema besar, tidak ada kompensasi spektakuler. Yang ada hanyalah rembuk.

Musyawarah ini tak pernah tercatat dalam Rencana Kerja Anggaran. Ia tak menambah nilai kontrak, tak memunculkan item belanja. Namun tanpa proses sosial ini, jalan tidak akan pernah ada. Di sinilah celah kebijakan terlihat jelas: pembangunan terlalu sibuk menghitung beton, tapi lupa menghitung kepercayaan.

Pekerjaan pengerasan jalan satu kilometer di lereng dekat SDN setempat kini hampir rampung—berdiri di atas kesepakatan, bukan sekadar dokumen.

Anak Sekolah dan Prioritas yang Terbalik

Rencana membuka jalan satu kilometer menuju Kampung Libureng sesungguhnya adalah soal pendidikan. Selama ini, siswa harus memutar dua hingga tiga bukit, menghabiskan waktu hampir satu jam. Namun dalam daftar prioritas daerah, persoalan seperti ini sering dianggap terlalu kecil.

Ironisnya, anggaran pendidikan kerap habis untuk bangunan dan seremonial, sementara akses menuju sekolah justru luput dari perhatian. Di Goarie, desa kembali menambal celah itu dengan kemampuannya sendiri.

Musrenbang dan Pembangunan yang Terputus

Kisah Goarie memperlihatkan jarak antara Musrenbang sebagai ritual dan Musrenbang sebagai alat perubahan. Aspirasi dicatat, tetapi tidak selalu diterjemahkan menjadi anggaran. Desa akhirnya bergerak sendiri, mengandalkan Dana Desa dan gotong royong untuk menutup lubang kebijakan di tingkat atas.

Jika pola ini terus dibiarkan, Musrenbang berisiko menjadi sekadar agenda tahunan—ramai di awal, sunyi di realisasi.

Pembangunan yang Datang dari Bawah

Goarie juga merencanakan penerangan jalan lorong dengan lampu tenaga surya—solusi sederhana, hemat, dan berkelanjutan. Ironisnya, inovasi semacam ini sering lahir dari desa, bukan dari desain kebijakan energi daerah yang lebih gemar menunggu proyek besar.

Pembangunan di Goarie mungkin tak memukau statistik. Namun dari jalan yang tumbuh di atas tanah labil itu, terlihat jelas satu hal: ketika kebijakan terlalu jauh dari realitas, desa akan membangun caranya sendiri.

Dan barangkali, di situlah kritik paling pedasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed