Keterangan Gambar :
Para pejabat kepolisian mengikuti konferensi pers pengungkapan kasus kekerasan dan pencabulan terhadap anak di Polres Gowa. Barisan petugas berdiri di belakang meja utama, sementara para pimpinan memaparkan kronologi dan langkah hukum dalam kasus tersebut.
Laporan : Sudirman Sehe
Editor : Masykur Thahir
Di Ruang Putih yang Tak Sepenuhnya Hening
Siang itu, langit Gowa tak banyak bicara. Namun di sebuah ruangan yang dipagari kain putih dan merah, keheningan seakan ditunda. Kamera menyala, meja panjang disusun, dan para pejabat kepolisian duduk dengan wajah yang menyiratkan satu hal: ada luka sosial yang harus dibuka ke publik, meski pahit, meski menusuk.
Anak-anak biasanya hanya hadir sebagai kisah lincah dalam buku pelajaran atau tawa yang pecah di gang sempit. Tapi kali ini, satu nama kecil, AMF—delapan tahun, kelas dua sekolah dasar—menggantikan semua keriuhan itu. Ia hadir sebagai korban, tanpa harus datang ke tempat acara. Namanya dipanggil sebagai representasi luka, sebagai fakta yang menuntut negara untuk bersuara.
Di tengah suasana itu, Kapolda Sulawesi Selatan memimpin konferensi pers dengan langkah pelan namun pasti. Seakan ia tahu, setiap kalimat memiliki bobot yang dapat mengguncang harapan banyak orang tua.
Ketika Hukum Berbicara, Kita Mendengar Trauma yang Tersembunyi
Kapolda membuka pernyataannya dengan nada yang nyaris lirih, tetapi tegas:
“Kami berdiri di sini untuk memastikan tidak ada lagi anak yang tumbuh dengan trauma yang disebabkan oleh kelalaian kita sebagai orang dewasa.”
Kata-kata itu menggantung lama, seperti kabut yang enggan pergi dari pegunungan. Di sampingnya, jajaran kepolisian yang menangani perempuan dan anak duduk tegak—sebuah representasi institusi yang tak hanya memegang senjata, tapi juga kepekaan.
Mereka memaparkan detail kasus: seorang pria berusia 45 tahun, ISM—memanfaatkan uang kecil sebagai iming-iming untuk mendekati korban. Di tangan aparat, kronologi itu berubah menjadi struktur hukum, lalu menjadi fakta yang tak bisa lagi disembunyikan.
Motifnya jelas, pelampiasan nafsu. Namun dalam esai kehidupan sosial kita, motif itu bukan sekadar alasan kriminal; ia adalah cermin keretakan. Keretakan yang menunjukkan betapa rapuhnya perlindungan terhadap anak-anak, terutama mereka yang hidup di lapis paling bawah keseharian masyarakat.
Benda-Benda Bisu yang Kini Menjadi Saksi
Di atas meja putih itu, barang bukti dipajang rapi: sepeda motor, helm, hoodi lusuh, sepasang sepatu, jeans, telepon genggam. Benda-benda harian yang di tangan aparat menjadi narator baru.
Jika motor itu bisa bicara, mungkin ia akan menceritakan perjalanan yang tak ingin diingat siapa pun.
Jika hoodi itu bisa berbicara, mungkin ia akan mengeluh soal hari ketika fungsinya berubah dari pakaian menjadi alat yang menyembunyikan niat jahat.
Tapi benda-benda itu tak perlu bicara. Penyidik sudah berbicara atas nama mereka.
Jerat Hukum dan Tekad yang Tidak Boleh Retak
Pelaku kini dihadapkan pada rentetan pasal: Pasal 80, 81, hingga Pasal 82 Undang-Undang Perlindungan Anak. Ancaman maksimal 15 tahun dan denda Rp5 miliar.
Angka-angka itu tampak kering, dingin, dan formal. Tapi di balik dinginnya hukum, ada upaya menghangatkan kembali rasa aman yang hilang dari seorang anak.
Kapolda menegaskan, “Direktorat PPA–PPO dibentuk bukan hanya untuk menangani kasus, tetapi untuk mengatakan kepada masyarakat bahwa negara tidak akan tutup mata.”
Di ruangan itu, hukum tidak hanya bekerja—ia ingin dilihat, ingin diyakini.
Setelah Konferensi Usai, Pertanyaan Tak Pernah Selesai
Ketika konferensi pers berakhir, kursi-kursi kembali sunyi. Kamera dimatikan. Para pejabat meninggalkan ruangan. Namun pekerjaan sebenarnya baru dimulai.
Esok pagi, masyarakat akan kembali membaca berita. Sebagian akan marah, sebagian resah, sebagian mungkin hanya menggeleng. Tapi kasus ini bukan sekadar berita. Ia adalah alarm yang mengingatkan: keamanan anak bukan hanya urusan polisi; itu urusan kita semua.
Kapolda menutup acara dengan ajakan sederhana namun tajam:
“Sudahi perang kelompok. Hentikan busur. Hentikan kekerasan. Kita tidak boleh membiarkan Sulawesi Selatan tumbuh dengan ketakutan.”
Kalimat itu terasa seperti pagar terakhir yang berdiri di tengah angin. Pagar yang menggantungkan harapan agar ruang hidup anak-anak tetap utuh. (Sumber : Humas Polda Sulsel)






