Doa yang Menyeberangi Lautan: Esai tentang Kesunyian, Kepedulian, dan Salat Gaib di Polres Wajo

BERITA DUKA53 Dilihat

Keterangan Gambar:

Jamaah dari unsur Polres Wajo dan masyarakat melaksanakan Salat Gaib di Masjid At-Taqwa Polres Wajo. Wajah-wajah yang menunduk dalam kekhusyukan ini menjadi simbol empati mendalam terhadap para korban bencana di Sumatera dan Aceh.


Laporan : Sabri

Editor : Alimuddin


Ketika Waktu Menjadi Hening

WAJO, SULSEL — Ada siang hari tertentu yang terasa lebih pelan dari biasanya. Udara seolah menahan diri, cahaya matahari merambat masuk seperti malu-malu, dan langkah manusia terdengar lebih lembut, seakan membawa sesuatu yang rapuh. Jumat, 5 Desember 2025 itu, Masjid At-Taqwa Polres Wajo menjadi rumah bagi keheningan semacam itu—keheningan yang bukan kosong, melainkan penuh: penuh doa, penuh rindu terhadap saudara yang tak dikenal, penuh empati yang menyeberangi samudra hingga menjangkau Sumatera dan Aceh yang sedang berduka.

Di ruang itu, di antara dinding yang menyimpan ribuan doa, manusia-manusia berdiri. Mereka menunduk bukan hanya sebagai ritus ibadah, tapi sebagai bentuk penghormatan bagi kehidupan yang terenggut tiba-tiba.


Masjid yang Menyerap Luka Nusantara

Masjid At-Taqwa di halaman Polres Wajo bukan bangunan besar. Namun hari itu, ia terasa seperti pusat dari sesuatu yang luas: pusat dari duka, dari harapan, dari kemanusiaan. Dari balik jendela, daun pohon bergerak ringan diterpa angin, seolah ikut mengucapkan takziah.

Barisan jamaah terbentuk setelah Salat Jumat usai. Beberapa wajah tampak masih memegang sisa-sisa khutbah, sementara sebagian lainnya memegang kabar buruk dari utara Nusantara. Seragam kepolisian bercampur dengan pakaian warga biasa, tak ada sekat, tak ada pangkat—semuanya melebur menjadi manusia yang merasakan patah yang sama.

Kapolres Wajo, AKBP Muhammad Rosid Ridho, melangkah maju. Gerakannya tenang, tidak tergesa. Barangkali karena ia tahu, doa membutuhkan ketepatan suasana: hening yang jujur, niat yang tulus, dan hati yang siap untuk terhubung dengan yang jauh.


Dari Tanah Wajo untuk Tanah yang Terluka

Musibah yang melanda Sumatera dan Aceh telah menjelma menjadi percakapan duka di mana-mana. Layar televisi menampilkan reruntuhan rumah; radio memutar suara-suara tangis yang pecah; gawai di tangan manusia memancarkan berita angka korban yang terus bertambah.

Namun ada fakta yang jarang diucapkan: duka tidak hanya menetap di lokasi bencana. Duka itu memiliki kaki. Ia berjalan, menyeberangi lautan, menumpang pada rasa kemanusiaan, lalu tiba di tempat-tempat yang jauh. Hari itu, duka itu mengetuk pintu Wajo—dan dibukakan.

Seorang personel polisi muda, dengan suara yang agak bergetar seusai salat, berkata:

“Kadang kita tidak bisa membantu dengan tenaga. Tapi hati selalu punya ruang, selalu punya cara. Doa adalah salah satunya.”

Kata-kata sederhana itu mengalir seperti parit kecil yang menuntun air ke sungai yang lebih besar.


Salat Gaib: Ritual Singkat yang Memanjang dalam Ingatan

Tepat pukul 12.45 Wita, Salat Gaib dimulai. Suara takbir pertama terasa seperti jeda panjang sebelum kembali bernafas.

Di barisan depan, imam muda mengangkat kedua tangannya, sementara jamaah mengikuti dengan khusyuk. Tidak ada suara selain lantunan doa. Bahkan bunyi kipas angin pun seperti mengecilkan dirinya. Keheningan itu memanjang, memasuki ruang batin siapa pun yang hadir.

Wakapolres, KOMPOL H. Andi Syamsulifu, berdiri tegak di samping Kapolres. Wajahnya tampak menahan sesuatu—barangkali kenangan, barangkali simpati yang menekan dada.

Di sayap kiri barisan, seorang lelaki paruh baya memejamkan mata begitu lama. Dari raut wajahnya, tampak bahwa ia sedang membayangkan sesuatu yang tidak bisa ia sebutkan: rumah yang hilang, seseorang yang tak sempat diselamatkan, atau sekadar suara anak kecil yang kini tak terdengar lagi.

Doa-doa itu naik perlahan. Tidak semuanya diucapkan. Banyak doa yang hanya berupa rasa, berupa bisikan dalam hati yang hanya Allah dengar.


Kala Kapolres Bicara dengan Nada yang Menundukkan Ego Manusia

Setelah salat selesai, Kapolres Ridho berbicara. Suaranya tidak lantang seperti pada apel pagi. Nada itu lebih dalam, lebih lembut, dan penuh jeda.

“Kita mungkin tidak mengenal mereka. Kita tidak tahu nama-nama mereka. Tapi duka itu adalah bagian dari kita. Kita ikut berduka, karena kita manusia. Kita hanya ingin mengirimkan apa yang bisa kita kirim: doa.”

Salah satu personel yang berdiri di belakang menahan napas. Kata-kata itu sederhana, tapi menggigit. Dalam momen semacam itu, seseorang bisa merasa lebih dekat dengan orang yang tak pernah ditemuinya.

Kapolres kemudian menambahkan:

“Semoga Allah SWT menerima amal ibadah mereka, mengampuni dosa-dosa mereka, dan menempatkan mereka di tempat terbaik. Dan semoga keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan.”

Ada sesuatu yang berubah di udara. Mungkin lebih berat. Mungkin lebih ringan. Tapi berubah.


Keperihan yang Membentuk Solidaritas

Bencana alam tidak pernah membawa kabar baik. Yang dibawanya adalah kehilangan. Tetapi dalam kehilangan itu, manusia kadang menemukan sesuatu: solidaritas. Rasa bahwa kita terhubung oleh hal yang sama—kerapuhan.

Salat Gaib yang dilaksanakan Polres Wajo bukan hanya bentuk ibadah, tetapi juga bentuk pengakuan bahwa manusia selalu bergantung pada manusia lain. Bahwa luka seseorang adalah luka bersama.

Seorang warga yang ikut hadir, setelah menata kembali peci di kepalanya, berkata perlahan:

“Ada yang patah hari ini di Sumatera dan Aceh. Kita tidak bisa ke sana, tapi kita bisa menemani mereka lewat doa. Kadang itu cukup. Kadang itu lebih dari cukup.”

Kalimat itu terasa seperti ringkasan dari apa yang terjadi siang itu.


Doa Terakhir yang Tidak Benar-Benar Terakhir

Usai salat, para jamaah bangkit, menyusun sandal, dan melangkah keluar masjid. Tetapi ada beberapa yang masih duduk. Ada yang menengadahkan tangannya lagi. Ada yang menutup wajah dengan telapak tangan. Ada yang diam begitu lama hingga ruang masjid kembali seperti sebelum salat: sunyi, tapi mengandung sesuatu yang tidak kasat mata.

Polres Wajo kemudian mengajak masyarakat untuk terus menumbuhkan kepedulian sosial. Karena bencana tak pernah memilih tempat. Dan doa tidak pernah mengenal batas.

Hari itu, jauh dari reruntuhan bangunan di Sumatera dan Aceh, sekelompok manusia berdiri dan mengirimkan apa yang mereka bisa. Tidak besar, tidak megah, tetapi tulus. Dan ketulusan seperti itu selalu menemukan jalannya sendiri untuk tiba di tempat yang dituju. (Sumber: Humas Polres Wajo)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *