Wajib Belajar 13 Tahun dan Bayang-Bayang 2.700 Anak Hilang dari Sistem PAUD: Menyelusuri Lubang Kebijakan di Soppeng

PENDIDIKAN143 Dilihat

Keterangan Gambar :

Para pendidik dan pejabat pendidikan Kabupaten Soppeng menghadiri sosialisasi Wajib Belajar 13 Tahun dan survei akhir tahun implementasi pendidikan karakter PAUD di Aula Kantor Kecamatan Lalabata, 12 Desember 2025.


Laporan : Syukur Mariorante Katalawala


Pagi itu, di Aula Kantor Kecamatan Lalabata, suara sambutan bergema ke langit-langit ruangan—sebuah ritual seremonial yang tampak biasa. Namun di balik layar, angka yang diungkapkan para pejabat menyiratkan sesuatu yang jauh lebih gelap: 2.700 anak usia dini di Kabupaten Soppeng tercatat belum pernah tersentuh PAUD—hilang dari radar kebijakan, luput dari sistem yang seharusnya melindungi mereka.

Pertanyaan yang menggantung di udara sederhana namun menggetarkan:
Ke mana perginya anak-anak itu? Dan bagaimana kebijakan Wajib Belajar 13 Tahun dapat berjalan jika fondasi PAUD masih berlubang?


Lubang Statistik: 2.700 Anak di Luar Sistem

Angka yang disampaikan Sekretaris Dinas Pendidikan, Dr. Nur Alim, M.Pd, memunculkan resah investigatif: 2.700 lebih anak tidak terdaftar dalam lembaga PAUD.
Sebagian besar tinggal di area pinggiran—desa-desa dengan jarak jauh, minim transportasi, ekonomi pas-pasan, dan sering kali tanpa akses layanan PAUD Holistik Integratif.

Masalahnya bukan sekadar “orang tua belum mendaftarkan anaknya”.
Masalahnya jauh lebih struktural:

  • Distribusi lembaga PAUD timpang antar-kecamatan
  • Kapasitas lembaga kecil, banyak hanya ditopang dua hingga tiga guru honorer
  • Minim anggaran, terutama dalam pelaksanaan standar PAUD berorientasi karakter
  • Ketergantungan pada iuran sukarela, membuat PAUD rentan di daerah miskin

Jika negara serius menjadikan 1 tahun pra-sekolah sebagai kewajiban, pertanyaan paling kritis adalah:
Apakah negara menyediakan layanan memadai? Atau hanya menambah kewajiban tanpa menyediakan kursi untuk duduk?


Anggaran PAUD: Kecil, Terfragmentasi, dan Tidak Sinkron

Dalam pemaparan, para pejabat mengulang mandat pemerintah pusat: PAUD harus menjadi gerbang pembentukan karakter.
Namun investigasi lapangan menunjukkan hal lain:

  • Banyak PAUD belum terakreditasi, sehingga sulit mengakses bantuan
  • BOP PAUD tidak mencukupi kebutuhan operasional riil
  • Belum ada mekanisme kuat untuk memantau keberlanjutan program karakter
  • Transisi PAUD–SD masih bergantung pada hubungan informal antar-guru

PLT Kabid PAUD, Andi Nur Alam, menyebutkan perlunya forum transisi kecamatan.
Namun, ketika ditelusuri, forum serupa di beberapa kabupaten lain kerap terkendala:

  • Tidak ada alokasi operasional
  • Tidak ada indikator keberhasilan yang terukur
  • Tidak ada sinkronisasi kurikulum PAUD–SD

Tanpa penguatan anggaran dan sistem, transisi PAUD–SD berisiko tinggal jargon konferensi saja.


Ketika Hak Anak Berhadapan dengan Realitas Sosial-Ekonomi

Wakil Bunda PAUD Kabupaten Soppeng, dr. Rahmawati Selle, menegaskan pentingnya memuliakan hak-hak anak.
Namun fakta lapangan—yang muncul dari wawancara cepat sejumlah pendidik—mengatakan lain:

  • Keluarga miskin mengutamakan pekerjaan rumah tangga anak
  • Ibu bekerja tidak punya waktu mengantar anak
  • Beberapa desa tidak memiliki lembaga PAUD sama sekali
  • Sementara lembaga yang ada bergantung pada honorarium tidak layak

Kebijakan nasional tentang wajib pra-sekolah tidak selalu bersentuhan dengan tanah tempat anak itu berdiri.


Mutu PAUD: Antara Akreditasi dan Beban Administratif

Ketua Himpaudi Soppeng, Andi Hermiyanti, berbicara tentang “Strategi Peningkatan Mutu”.
Namun para guru PAUD di desa-desa kecil mengaku:

  • Banyak lembaga kesulitan memenuhi standar akreditasi
  • Tenaga pendidik tidak semua tersertifikasi
  • Pelaporan digital sering terkendala jaringan internet
  • Holistik Integratif lebih sering berhenti sebagai istilah seminar ketimbang layanan nyata

Mutu PAUD tidak hanya soal kapasitas guru, tetapi juga kapasitas negara membangun ekosistemnya.


Wajib Belajar 13 Tahun: Siapkah Fondasinya?

Wacana Wajib Belajar 13 Tahun adalah kebijakan besar.
Namun di Soppeng, investigasi hari ini menyisakan satu kesimpulan:

Negara ingin anak-anak bersekolah lebih lama, tetapi belum membangun pondasi agar mereka bisa memulainya dengan setara.

PAUD bukan sekadar ruang bermain—ia adalah titik nol pendidikan.
Jika titik nolnya retak, seluruh bangunan masa depan anak pun ikut retak.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *