Keterangan Gambar:
Prof. Dr. Indah Raya Andi Rumpang, M.Si., mengenakan toga akademik lengkap dalam undangan resmi pengukuhan Guru Besarnya. Senyum tenang itu menyimpan perjalanan panjang dari Watampone menuju puncak tertinggi jabatan akademik di Universitas Hasanuddin.
Oleh : Alimuddin
Alumni SMA Negeri 156 Watampone dari Kelas III IPA2 Tahun 1983
Sebuah Dokumenter Naratif Perjalanan Prof. Dr. Indah Raya dari Bangku Watampone ke Mimbar Guru Besar Unhas
Jejak di Tanah Rumpa yang Sunyi
Di sebuah pagi yang masih lembut di Watampone, bayangan matahari jatuh miring di halaman SMA Negeri 156 Watampone, sekolah negeri yang pada 1980-an menjadi rumah bagi ratusan remaja yang bermimpi diam-diam. Bangku-bangku kayu tua, papan tulis hitam, dan jendela besar yang menghadap pepohonan menjadi saksi bisu perjalanan anak-anak desa yang sedang mencari masa depan.
Di antara mereka, seorang remaja perempuan berjalan perlahan, langkahnya ringan, tetapi matanya menyimpan sesuatu yang tak mudah dijelaskan: sebuah ketekunan yang tidak ribut, sebuah cita-cita yang tidak suka bercerita tentang dirinya.
Namanya Indah Raya.
Nama yang kelak akan menjelma menjadi bagian dari percakapan besar tentang ilmu pengetahuan.
Kadang ia duduk di baris tengah, dekat jendela kanan. Dari situ ia mengintip cahaya yang jatuh ke lantai, sementara guru menulis reaksi kimia di papan tulis. Tidak ada yang tahu bahwa reaksi-reaksi itulah yang kelak akan memancing nalurinya sebagai peneliti, menghidupkan imaginasi bahwa dunia bisa disederhanakan, dipahami, dan disembuhkan melalui molekul.
Kelas IPA 2 tahun 1983 adalah saksi pertama perjalanan itu.
Tempat di mana suara tawa, gosip remaja, nilai ujian, hingga mimpi-mimpi kecil berbaur menjadi cerita panjang yang hanya bisa disusun oleh waktu.
Dari Ruang Kelas ke Jalan Raya Makassar
Setelah tamat, Indah Raya muda berangkat ke Makassar. Perjalanan keluar dari Watampone bagi banyak anak pada masa itu bukan hanya perpindahan geografis. Itu adalah keberanian untuk memasuki dunia yang belum dikenal. Di kampus merah—Universitas Hasanuddin—ia memulai hidup baru. Di koridor fakultas, di laboratorium kimia yang dingin, di meja riset yang berantakan dengan kertas dan larutan, ia menemukan dunia yang tak pernah dibayangkannya di bangku SMA.
Ia tidak datang ke Makassar untuk sekadar belajar. Ia datang untuk merawat rasa ingin tahu yang sudah tumbuh sejak remaja. Dan seperti air yang mencari jalannya, rasa ingin tahu itu menemukan muaranya.
Mahasiswa lainnya mengenalnya sebagai sosok yang tekun, jarang berkeluh kesah, dan selalu berada di laboratorium hingga sore menjelang malam.
Ia percaya bahwa ilmu pengetahuan tidak akan datang kepada mereka yang setengah hati.
Waktu yang Tak Pernah Lelah Berjalan
Tahun berganti. Dunia akademik menguji. Begitu banyak yang tumbang, menyerah, atau berbelok arah. Tetapi Indah Raya memiliki pegangan yang tidak goyah: keyakinan bahwa setiap upaya akan menemukan jalannya pulang.
Ia menjadi dosen, kemudian peneliti, kemudian penggerak ilmu. Ia menulis, meneliti, memimpin, mendampingi mahasiswa.
Ia berdiri di ruang-ruang seminar, di hadapan ratusan mahasiswa, menerangkan struktur molekul yang rumit seolah sedang menceritakan kisah hidup.
Dentuman waktu tidak membuatnya lelah—justru menguatkannya.
Sampai tiba pada sebuah titik penting:
Penetapan sebagai Guru Besar Universitas Hasanuddin, jabatan akademik tertinggi yang hanya dapat dicapai oleh mereka yang memberi seluruh hidupnya untuk ilmu.
Hari yang Ditunggu itu Bernama Selasa
Tanggal 2 Desember 2025.
Ruang Senat Lantai 2 Gedung Rektorat Unhas Makassar bersiap menyambut sebuah peristiwa besar. Kursi-kursi merah disusun rapi, podium dipoles, layar presentasi diuji, dan toga akademik tergantung dengan wibawanya.
Di ruangan itu, perjalanan puluhan tahun seorang perempuan akan memuncak dalam sebuah upacara:
Pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Indah Raya Andi Rumpang, M.Si.
Ia akan menyampaikan pidato ilmiah berjudul:
“Kompleks M-Ditiokarbamat sebagai Agen Molekular Baru dalam Menghadapi Krisis Tuberkulosis Resisten Obat (RO).”
Pidato itu bukan sekadar presentasi ilmiah.
Itu adalah bukti bahwa seorang anak dari Watampone dapat menyentuh persoalan global.
Bahwa ruang kelas kecil dapat melahirkan pemikiran yang membentang jauh melampaui kampung halaman.
Watampone Bergetar oleh Kabar Itu
Di ujung lain perjalanan, jauh dari Unhas, ponsel-ponsel alumni Smabo 83 bergetar tanpa henti.
Grup WhatsApp IPA 2 Smabo 83 hari itu seperti ruang kelas yang hidup kembali — riuh, hangat, dan penuh cerita.
Ucapan selamat datang dari segala penjuru:
Ir. Muhammad Anwar Ahmad dari Jakarta bertanya,
“Bisa diikuti online? Ingin menyaksikan langsung.”
Fahrul dari Makassar mengajak,
“Teman-teman, ayo hadir syukuran Puang Indah.”
Ma’asiah di Makassar, membalas,
“Insya Allah siap hadir.”
H. Ansyaruddin menuliskan dengan penuh hormat:
“Selamat, Prof. Indah Raya. Kami semua bangga.”
Dari Balikpapan, Ir. H. Jamaluddin Jamal menuliskan selamat dengan kebanggaan seorang sahabat lama yang tahu bahwa perjalanan panjang selalu dimulai dari hal kecil.
Group itu seperti mesin waktu.
Mereka seakan kembali melihat Indah kecil berlari di lapangan, menenteng buku, atau mengikuti pelajaran tanpa pernah membuat gaduh.
Angkatan yang Melahirkan Cahaya
Angkatan IPA 2 tahun 1983 tidak mungkin dilupakan. Dari kelas kecil itu, lahir para akademisi besar: Prof. Indah Raya, Prof. Sudirman, Prof. Amiruddin.
Siapa sangka?
Dari sekolah negeri di Watampone, Kelas IPA2 yang kala itu jauh dari hiruk-pikuk kota besar, tumbuh tiga profesor yang kini mengisi jagad keilmuan Indonesia.
Mungkin ruang kelas itu sederhana.
Mungkin fasilitasnya tidak seberapa.
Tetapi masa depan tidak pernah ditentukan oleh gedung, melainkan oleh kemauan untuk melampaui batas.
Siaran yang Menghubungkan Banyak Hati
Bagi mereka yang tidak dapat hadir, Unhas menyiapkan siaran langsung melalui YouTube:
Upacara akan membuka tirainya pukul 08.30 WITA.
Di sana, Ketua Dewan Profesor Unhas, Prof. Dr. A. Pangerang Moenta, S.H., M.H., DFM, akan memandu momen bersejarah itu.
Ratusan mata mungkin menyaksikan dari jauh, namun hati mereka berada di ruang senat yang agung itu.
Narasi Pulang — Ketika Ilmu Menemukan Rumahnya
Pada akhirnya, pengukuhan Guru Besar bukan hanya tentang toga, podium, dan piagam penghargaan.
Ia adalah cerita tentang bagaimana seseorang bertahan menghadapi kesulitan, tentang tanggung jawab moral pada ilmu, dan tentang kepercayaan bahwa cahaya dapat tumbuh di mana saja.
Prof. Indah Raya tidak pernah lupa darimana ia berasal. Watampone bukan hanya tempat ia dibesarkan—ia adalah tanah di mana mimpi pertamanya ditanam.
Dan setiap langkahnya, baik di laboratorium, ruang kuliah, atau seminar, selalu membawa aroma kampung halaman.
Pada hari pengukuhan itu, ia tidak berdiri sendirian.
Bersamanya berdiri suara guru-guru lama, sahabat-sahabat SMA, orang tua yang pernah mendoakan diam-diam, dan generasi muda yang menunggu inspirasi.
Karena ilmu, pada akhirnya, selalu kembali kepada mereka yang merawatnya dengan ketulusan.
Dari Cahaya Kecil ke Cakrawala Besar
Ada banyak cara untuk menjadi besar.
Tetapi di antara semuanya, yang paling mulia adalah menjadi besar untuk memberi manfaat kepada orang lain.
Itulah yang dilakukan Prof. Dr. Indah Raya.
Ia meniti perjalanan panjang bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk membuka jalan bagi banyak orang yang percaya bahwa pendidikan mampu mengubah hidup.
Dan kini, ketika namanya bergema sebagai Guru Besar Unhas, dunia seolah mengakui apa yang telah diketahui sejak ia masih remaja:
Bahwa cahaya kecil itu memang ditakdirkan untuk menerangi lebih jauh.












