Ketika Pers Gagal Taat pada Dirinya Sendiri

OPINI84 Dilihat

Oleh : Syukur Mariorante Katalawala

Kita kerap menuntut negara patuh pada konstitusi. Kita mengkritik lembaga publik yang melanggar prosedur. Namun sebuah pertanyaan mendasar kini patut diarahkan ke dalam: apakah organisasi pers telah taat pada aturannya sendiri.

Pelantikan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Soppeng memunculkan pertanyaan itu. Bukan karena figur yang dilantik, melainkan karena soal kewenangan struktural. Seorang pengurus daerah diketahui telah dilantik sebagai Pengurus PWI Pusat hasil Kongres PWI 2025 di Cikarang, namun masih menjalankan fungsi struktural di tingkat provinsi.

Peraturan Dasar PWI Pasal 28 ayat (2) tidak memberi ruang tafsir longgar. Pengurus PWI dilarang merangkap jabatan struktural di semua tingkatan. Ketentuan ini ditegaskan kembali melalui Surat Edaran PWI Pusat Nomor 449/PWI-P/LXXIX/XII/2025. Aturan itu bukan sekadar formalitas, melainkan fondasi tata kelola organisasi.

Dalam hukum organisasi, penerimaan jabatan di tingkat pusat adalah pilihan struktural dengan konsekuensi otomatis. Jabatan daerah ditinggalkan demi kepatuhan pada sistem. Tidak diperlukan seremoni pengunduran diri atau keputusan tambahan. Aturan bekerja dengan sendirinya.

Di titik inilah legitimasi pelantikan di daerah menjadi relevan untuk dipertanyakan. Persoalannya bukan niat baik, bukan pula soal personal. Ini soal legal standing. Dalam tata kelola modern, cacat kewenangan tidak dapat ditutup oleh seremoni, kehadiran tokoh, atau legitimasi informal. Yang sah hanyalah yang sesuai aturan.

Organisasi pers seharusnya menjadi contoh disiplin etik. Jika pelanggaran kecil ditoleransi atas nama kebiasaan, preseden buruk sedang dibangun. Preseden itu akan menggerus legitimasi internal dan, pada akhirnya, kepercayaan publik—modal utama pers di tengah krisis otoritas.

Koreksi struktural bukan penghukuman. Ia adalah mekanisme sehat untuk mengembalikan organisasi ke rel konstitusionalnya. Jika sebuah proses lahir dari kewenangan yang dipersoalkan, solusinya adalah penataan ulang berbasis aturan, bukan polemik personal.

Diamnya struktur pusat justru memperpanjang ambiguitas. Organisasi pers semestinya memberi teladan bagaimana konflik diselesaikan: terbuka, berbasis aturan, dan bebas dari kepentingan kekuasaan. Sebab yang dipertaruhkan bukan jabatan, melainkan integritas institusi.

Pers hanya dapat mengoreksi dunia luar jika ia terlebih dahulu tertib pada dirinya sendiri. Tanpa itu, kritik kehilangan dasar moralnya. Dan di sanalah persoalan sesungguhnya bermula.

Soppeng, 22 Desember 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *