Kapolsek Maniangpajo dan Warga Salodua Menyatukan Langkah Bangun Masjid

WAJO25 Dilihat

Keterangan Gambar :

Kapolsek Maniangpajo bersama warga Dusun Salodua dan jajaran Polsek Maniangpajo saat peletakan batu pertama pembangunan Masjid Miftahul Khaer di Desa Mattirowalie, Kecamatan Maniangpajo, Kabupaten Wajo, Selasa (16/12/2025).


Laporan : Sabri


WAJO — Pembangunan kerap dipersempit menjadi urusan anggaran, kewenangan, dan target fisik. Di Dusun Salodua, Kecamatan Maniangpajo, Kabupaten Wajo, Selasa pagi, 16 Desember 2025, pembangunan justru dimulai dari ruang yang lebih sunyi: ruang sosial. Di lahan yang belum diratakan, warga bersama aparat kepolisian meletakkan batu pertama Masjid Miftahul Khaer.

Sekitar pukul 08.30 Wita, Kapolsek Maniangpajo AKP Johari hadir bersama jajaran Polsek Maniangpajo, pengurus masjid, dan tokoh masyarakat Desa Mattirowalie. Prosesi berlangsung singkat dan fungsional. Tidak ada perangkat seremoni berlebihan. Aparat dan warga berdiri dalam satu barisan, menandai dimulainya proyek yang bersifat sipil dan keagamaan.

Masjid Miftahul Khaer direncanakan dibangun di sisi barat Kantor Mapolsek Maniangpajo, dengan luas sekitar 12 x 16,5 meter. Penempatan ini membawa makna yang tidak sepenuhnya netral. Kedekatan fisik antara rumah ibadah dan institusi kepolisian menempatkan masjid di persilangan dua ranah: ruang negara dan ruang warga.

Dalam konteks pedesaan, masjid jarang berhenti sebagai tempat ibadah semata. Ia kerap berfungsi sebagai ruang musyawarah, pusat konsolidasi sosial, sekaligus medium pembentukan norma bersama. Fungsi-fungsi ini bekerja di luar struktur formal negara, namun berdampak langsung pada stabilitas sosial. Karena itu, kehadiran negara di sekitar ruang ibadah selalu memunculkan pertanyaan tentang batas peran dan pengaruh.

Kehadiran aparat kepolisian dalam pembangunan masjid ini memperlihatkan pendekatan partisipatif yang kian sering ditampilkan institusi negara. Aparat tidak hanya hadir dalam situasi penindakan atau konflik, tetapi juga dalam proses sosial yang bersifat sukarela. Pendekatan semacam ini berpotensi memperkuat kepercayaan publik, terutama di wilayah yang mengandalkan relasi personal dalam menjaga ketertiban.

Namun partisipasi simbolik juga membawa risiko. Ketika negara terlalu dekat dengan ruang sipil, garis pemisah antara dukungan dan pengaruh menjadi tipis. Ruang ibadah menuntut otonomi sosial. Ia perlu dikelola, diisi, dan dimaknai oleh masyarakat, tanpa intervensi yang mengaburkan kepemilikan warga atas ruang tersebut.

Peletakan batu pertama menandai awal pembangunan fisik. Tetapi keberhasilan masjid sebagai ruang publik tidak ditentukan oleh cepatnya bangunan berdiri. Ia diuji oleh keberlanjutan partisipasi warga, transparansi pengelolaan, dan kemampuannya tetap menjadi ruang inklusif. Banyak proyek sosial berhenti pada simbol awal, tanpa memastikan fungsi jangka panjangnya berjalan.

Di Maniangpajo, Masjid Miftahul Khaer berdiri di antara dua kepentingan: simbol kedekatan negara dengan masyarakat dan fungsi sosial yang sepenuhnya bertumpu pada warga. Apakah kedekatan ini kelak memperkuat kohesi sosial atau justru mengaburkan batas peran, akan terlihat setelah fase seremonial berlalu dan rutinitas kembali berjalan.

Kegiatan berlangsung aman dan tertib hingga selesai. Setelah prosesi usai, lokasi kembali lengang. Yang tertinggal bukan hanya pondasi bangunan, tetapi juga penanda bahwa relasi negara dan masyarakat terus dinegosiasikan—bahkan dalam urusan yang paling personal sekalipun, seperti pembangunan ruang ibadah. (Sumber rilis : Humas Polres Wajo)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *