Oleh : Andi Baso Petta Karaeng
Jika tak ada aral melintang, Senin, 22 Desember 2025, ruang Pola Kantor Bupati Soppeng akan kembali menjalankan fungsi seremonialnya. Di sana, Persatuan Wartawan Indonesia—organisasi pers tertua di republik ini—akan melantik Ketua PWI Kabupaten Soppeng periode 2025–2028. Undangan telah beredar. Forkopimda dijadwalkan hadir. Negara akan menyaksikan pers mengukuhkan kepemimpinannya.
Namun ada keganjilan yang sulit diabaikan.
Ketua yang akan dilantik hanya berijazah SMP. Padahal Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga PWI sejak lama menempatkan pendidikan sebagai syarat dasar keanggotaan—bahkan untuk Anggota Muda. Standar itu bukan produk situasi mutakhir. Ia telah menjadi bagian dari disiplin organisasi jauh sebelum Kongres PWI 2023, ketika batas minimal pendidikan terakhir pun masih berada di level diploma dan sarjana, sebelum akhirnya diturunkan ke SMA atau sederajat.
SMP tak pernah menjadi standar.
Pertanyaannya sederhana: bagaimana syarat paling elementer bisa dilangkahi, sementara jabatan tertinggi Kabupaten tetap diberikan?
Jawaban yang kerap muncul—bahwa PD dan PRT tidak mengatur standar pendidikan—tidak bertahan di hadapan dokumen organisasi itu sendiri. Ini bukan soal kekosongan aturan. Ini soal keberanian untuk menegakkannya.
Masalah ini menjadi lebih rumit ketika dikaitkan dengan Sertifikat Uji Kompetensi Wartawan (UKW) tingkat Madya yang dikantongi calon ketua. Syarat mengikuti UKW jelas: pendidikan minimal SMA atau sederajat. Jika prasyarat itu tidak dipenuhi sejak awal, maka yang dipertanyakan bukan hanya individu, melainkan integritas sistem sertifikasi pers nasional.
Di titik ini, persoalan berhenti menjadi administratif. Ia berubah menjadi struktural.
Keanehan lain muncul pada soal identitas. Nama pada ijazah SMP tercatat “Jumawi”. Namun pada Kartu Tanda Anggota PWI dan sertifikat UKW, nama yang digunakan adalah “Andi Jumawi”. Perbedaan ini dibiarkan lewat tanpa penjelasan yang tuntas.
Organisasi pers yang setiap hari menuntut ketepatan nama, data, dan identitas dari narasumber justru permisif terhadap ketidakjelasan di dalam rumahnya sendiri. Sebuah ironi yang sulit dibela secara etik.
Kisah ini tidak bisa dilepaskan dari proses Konferensi Kabupaten PWI Soppeng 2025. Daftar Pemilih Tetap berubah di hari pelaksanaan, dari 12 menjadi 14 orang. Dua peserta yang sebelumnya hanya berstatus peninjau tiba-tiba dinyatakan sah memilih, meski hanya bermodal KTA dalam bentuk PDF tanpa kartu fisik. Keabsahan itu diperoleh melalui sambungan telepon dengan Ketua Umum PWI Pusat yang diperdengarkan ke forum.
Secara struktural, langkah tersebut mungkin sah. Namun secara etik, ia meninggalkan jejak berbahaya: aturan dapat berubah di tengah jalan selama ada otoritas yang bisa dihubungi. Demokrasi internal pun kehilangan maknanya sebagai proses yang adil dan dapat diprediksi.
Deadlock tujuh banding tujuh yang terjadi dua kali kemudian dijadikan penutup cerita. Keputusan dilempar ke tingkat provinsi, seolah kebuntuan suara adalah akhir masalah. Padahal kebuntuan itu justru menandai bahwa proses sejak awal telah cacat.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah masuknya rekomendasi pihak eksternal—bahkan dari unsur pemerintah daerah—dalam proses yang seharusnya murni urusan organisasi pers. Praktik ini bukan sekadar keliru secara prosedural. Ia bertentangan dengan prinsip paling dasar pers: independensi.
Sejak berdiri pada 1946, PWI tidak dibangun untuk menggantungkan legitimasi kepemimpinannya pada kekuasaan. Pers justru ada untuk menjaga jarak kritis dengan negara. Ketika legitimasi diperoleh melalui “surat dukungan” eksternal, maka daya kritis itu runtuh bahkan sebelum kerja jurnalistik dimulai.
Kasus Soppeng bukan perkara lokal. Ia adalah cermin tentang bagaimana aturan diperlakukan di tubuh organisasi pers. Ketika syarat pendidikan bisa dinegosiasikan, identitas bisa dikaburkan, dan prosedur bisa diubah di tengah jalan, maka yang dipertaruhkan bukan satu jabatan, melainkan marwah profesi.
Kini tanggung jawab berada di tangan PWI Pusat. Keputusan yang diambil akan menentukan apakah PWI masih berdiri sebagai penjaga standar etika jurnalistik, atau sekadar organisasi yang pandai meredam konflik dengan mengorbankan prinsip.
Dalam dunia pers, integritas tidak diuji saat situasi nyaman. Ia diuji justru ketika aturan terasa merepotkan.
Di situlah seharusnya pers berdiri tegak—atau kehilangan hak moralnya untuk mengawasi siapa pun.
Soppeng, 21 Desember 2025






