Oleh: Rusdianto Sudirman
Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare
Pernyataan Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Agus Fatoni yang menegaskan bahwa “DPRD tidak sama dengan DPR RI” telah memantik polemik yang tak perlu. Memang, secara konstitusional DPRD tidak memiliki kewenangan seluas DPR RI. Namun, menarasikan perbedaan itu dengan cara yang mereduksi peran DPRD sebagai lembaga legislatif daerah justru menyesatkan, berbahaya, dan berpotensi merusak arsitektur demokrasi lokal yang selama dua dekade dibangun dengan susah payah.
Narasi yang dibangun Dirjen menyederhanakan hubungan pusat dan daerah seolah DPRD hanyalah ornamen administratif yang berdiri di pinggir panggung kekuasaan. Padahal, sejarah dan praktik politik di daerah membuktikan bahwa DPRD bukan sekadar pelengkap. Ia adalah representasi rakyat di tingkat lokal, pemegang mandat untuk mengontrol anggaran daerah, menggugat kebijakan eksekutif yang melenceng, dan menghadirkan kanal aspirasi yang tak selalu terdengar di pusat.
Mengatakan bahwa DPRD “tidak sama dengan DPR RI” sebenarnya bukan masalah. Yang problematis adalah penegasan itu digunakan sebagai landasan untuk menyempitkan peran DPRD hingga nyaris seperti lembaga pembantu birokrasi. Ucapan tersebut, jika dibiarkan, bisa dipelintir menjadi legitimasi politik untuk meminggirkan DPRD dari proses pengambilan keputusan publik.
Dalam narasi Agus Fatoni, keberadaan Bapemperda dijadikan contoh bahwa DPRD tidak memiliki fungsi legislasi sebagaimana DPR RI. Padahal, justru di situlah letak kekeliruannya. Bapemperda bukan bukti kelemahan legislatif daerah, melainkan mekanisme internal DPRD untuk memperkuat proses legislasi agar lebih terstruktur, terukur, dan bisa dipertanggungjawabkan.
Kalau logika itu diterapkan, keberadaan Badan Legislasi di DPR RI pun dapat dianggap sebagai bukti bahwa DPR tidak menjalankan fungsi legislasi. Sebuah kesimpulan yang tentu saja tidak berdasar.
Lebih jauh, narasi “karena Indonesia negara kesatuan” dijadikan alasan pembeda antara kewenangan legislatif di pusat dan daerah. Logika ini juga rapuh.
Negara kesatuan tidak otomatis mengebiri peran legislatif lokal. Sistem otonomi daerah yang diperkuat sejak reformasi justru memberikan ruang bagi DPRD untuk memainkan fungsi pengawasan dan perumusan kebijakan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat daerah.
Bila DPRD diperlakukan hanya sebagai pengamat, maka bangunan otonomi daerah kehilangan pilar paling pentingnya.
Ada implikasi lain yang lebih mengkhawatirkan, posisi DPRD di mata publik berpotensi merosot. Pernyataan pejabat tinggi semacam ini bisa membangun persepsi bahwa DPRD tidak mempunyai kuasa apapun, hanya lembaga formalitas yang bergantung pada pemerintah daerah.
Persepsi semacam itu sangat mungkin dimanfaatkan oleh kepala daerah yang hendak mendominasi anggaran dan kebijakan tanpa kontrol legislatif yang memadai. Pada akhirnya, masyarakatlah yang akan menanggung akibatnya.
Risiko berikutnya adalah potensi memburuknya check and balance lokal. Jika narasi ini diterima secara politik, kepala daerah akan merasa punya ruang lebih lebar untuk bertindak tanpa koreksi. Kekuatan legislatif yang semestinya menjadi penyeimbang akan dikerdilkan oleh legitimasi semu dari pernyataan pejabat pusat. Ini bukan sekadar perbedaan tafsir institusional, melainkan ancaman terhadap demokrasi di tingkat paling dekat dengan rakyat.
Yang lebih konstruktif seharusnya adalah menempatkan perbedaan kewenangan secara proporsional. DPRD memang tidak memiliki fungsi pembentukan undang-undang, tetapi perannya dalam membentuk Peraturan Daerah jauh dari kata kecil. Banyak keputusan anggaran justru lebih menentukan kualitas hidup masyarakat di daerah ketimbang legislasi nasional. Program bantuan, beasiswa daerah, penataan ruang, hingga penyediaan layanan dasar selalu melewati pintu DPRD.
Menyederhanakannya hanya akan melahirkan perasaan bahwa rakyat daerah tidak berhak memiliki kontrol politik yang kuat terhadap pemerintahannya sendiri.
Pemerintah pusat semestinya berhati-hati dalam mengeluarkan pernyataan yang menyangkut hubungan kewenangan antara pusat dan daerah. Alih-alih mereduksi DPRD, Kemendagri selayaknya menegaskan pentingnya sinergi dua lembaga daerah eksekutif dan legislatif untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, memastikan anggaran tepat sasaran, serta menjaga integritas proses politik lokal. Demokrasi daerah tidak akan kuat jika salah satu pilarnya dikecilkan.
Di tengah tantangan tata kelola pemerintahan yang semakin kompleks, kita justru membutuhkan penguatan DPRD, bukan pelemahannya. Masyarakat daerah memerlukan wadah representasi yang kritis, berpengaruh, dan berdaya.
Pernyataan yang menurunkan derajat kewenangan DPRD hanya akan membuat jarak antara rakyat dan pembuat kebijakan makin lebar.
Pemerintah pusat boleh mengedukasi publik mengenai struktur pemerintahan, tetapi harus sangat berhati-hati untuk tidak menggerus legitimasi lembaga perwakilan daerah.
Demokrasi Indonesia tidak pernah dimaksudkan berjalan dari pusat ke daerah secara satu arah. Ia tumbuh dari bawah, dari peran rakyat dalam menentukan arah kebijakan lokal melalui wakil-wakilnya.
Oleh karena itu, bantahan ini bukan sekadar soal diksi atau istilah. Ini soal cara kita memandang DPRD, apakah sebagai pilar demokrasi lokal yang sejajar dalam kerangka otonomi daerah, atau sekadar ornamen politik yang setiap saat bisa dikecilkan perannya. Dan sejarah reformasi menunjukkan jawaban yang jelas. DPRD adalah kekuatan demokrasi yang tidak boleh dipinggirkan, apalagi direduksi oleh sebuah pernyataan yang menyesatkan.





