Oleh: Rusdianto Sudirman
Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare. Juga Penasehat Hukum Group Media Suara Palapa (Palapa TV, Majalah Suara Palapa, Suarapalapa.id dan Palapainfo.com)
Ketika seorang kepala dinas di sebuah kabupaten terpencil dihadang sejumlah wartawan yang menodongkan pertanyaan soal proyek fiktif, ia nyaris tak tahu harus menjawab apa. Ia bukan takut atas substansi pertanyaan, melainkan bingung menjawab media mana yang mereka wakili. Tak ada kartu identitas resmi. Tak ada nama media yang bisa ditemukan di mesin pencari. Yang ada hanya ancaman: jika tak “kerja sama”, berita buruk akan naik dalam dua jam. Fenomena ini bukan isapan jempol. Ini nyata, sistemik, dan menjamur dari kota hingga desa. Dan negara belum cukup tanggap.
Dalam beberapa tahun terakhir, konflik antara Dewan Pers dan organisasi-organisasi pers non-terverifikasi kian meruncing. Di satu sisi, Dewan Pers sebagai lembaga independen yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjalankan fungsi standarisasi profesi dan verifikasi media. Di sisi lain, ratusan bahkan ribuan media siber dan organisasi wartawan bermunculan, menolak tunduk pada otoritas Dewan Pers dan mengaku diri sebagai perwujudan kebebasan pers yang dijamin konstitusi.
Masalahnya menjadi rumit ketika pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat menjadi korban dari pemberitaan sepihak, tanpa konfirmasi, bahkan bernuansa pemerasan. Banyak dari media ini tak berbadan hukum, tak memiliki redaksi tetap, dan tak menjalankan kode etik jurnalistik. Wartawannya pun sering kali tanpa pelatihan, tanpa sertifikasi, dan menjadikan status “wartawan” sebagai tameng untuk kepentingan pribadi.
Secara yuridis formal, Undang-Undang Pers tidak mewajibkan media untuk terdaftar di Dewan Pers. Pasal 4 UU Pers menjamin kemerdekaan pers dan melarang penyensoran serta pelarangan penyiaran. Namun, kebebasan tersebut tidak bersifat absolut. Pasal 7 menegaskan bahwa wartawan wajib menaati Kode Etik Jurnalistik, dan setiap orang yang dirugikan oleh pemberitaan berhak menggunakan hak jawab atau hak koreksi.
Masalah muncul ketika media tidak menjalankan prinsip-prinsip jurnalistik yang sehat. Ketika wartawan tidak bisa dibedakan dari pemeras. Ketika tidak ada kejelasan badan hukum, alamat redaksi, atau pertanggungjawaban atas konten. Dalam konteks ini, negara berhak dan wajib hadir. Bukan untuk membungkam pers, tetapi untuk menertibkan ruang publik yang tercemar oleh “pers liar” yang tak bisa dibedakan dari alat kriminalitas.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-XI/2013, ditegaskan bahwa penyelesaian sengketa pemberitaan pers tidak harus melalui Dewan Pers. Ini membuka celah bagi media non-terverifikasi untuk tetap eksis. Tapi ini juga memunculkan kekacauan di lapangan, setiap orang bisa mengaku sebagai wartawan, dan setiap website bisa disebut media. Tanpa pengaturan yang tegas, kita menyaksikan banjir informasi palsu dengan kapal hukum yang bocor di mana-mana.
Organisasi-organisasi wartawan yang tidak terafiliasi dengan Dewan Pers kerap membentuk lembaga uji kompetensi sendiri, mengeluarkan sertifikasi selevel “kompeten utama” tanpa standar yang jelas. Di sisi lain, Dewan Pers dinilai elitis, terlalu birokratis, dan lambat merespons perkembangan media digital yang begitu pesat. Dualisme ini menciptakan ruang abu-abu yang subur bagi media abal-abal tidak tunduk pada standar, tapi menuntut pengakuan sebagai pers.
Pemerintah, khususnya pemerintah daerah dan aparat, sering menjadi korban tekanan. Karena tak ingin diberitakan buruk, mereka menggelontorkan “uang koordinasi”, “uang peliputan”, atau “uang bensin” yang sejatinya adalah bentuk pemerasan terselubung. Jika dibiarkan, ini adalah jalan cepat menuju kehancuran demokrasi. Bukan karena pers yang bebas, tapi karena pers yang liar.
Oleh karena itu menurut penulis, pemerintah harus segera hadir dengan fungsinya sebagai regulator. Pertama, perlu ada revisi terbatas terhadap UU Pers untuk memperjelas batas antara media profesional dan media abal-abal. Revisi bukan untuk mengurangi kebebasan, tetapi untuk memastikan adanya pertanggungjawaban dan etika. Pasal-pasal tentang badan hukum media, alamat redaksi, dan verifikasi dapat ditegaskan sebagai syarat minimal.
Kedua, pemerintah dapat menerbitkan peraturan turunan berupa Peraturan Presiden atau Permendagri yang memberi pedoman kepada instansi pemerintah dalam berinteraksi dengan media. Dalam aturan tersebut nantinya , hanya media yang terverifikasi atau memenuhi standar profesional minimal yang boleh melakukan peliputan di instansi publik. Media yang tidak memenuhi syarat tetap dapat menjalankan fungsi pers, tetapi tidak dapat mengklaim hak istimewa seperti akses khusus ke narasumber atau ke tempat terbatas.
Ketiga, dibentuknya badan etik bersama antara Dewan Pers, Kominfo, dan organisasi media siber untuk membuat sistem integrasi basis data media dan wartawan yang terbuka. Sistem ini memungkinkan siapa pun memeriksa legalitas sebuah media dan status kompetensi wartawannya secara daring.
Keempat, perlindungan hukum terhadap korban pemberitaan palsu perlu diperkuat. Pemberitaan yang tidak berdasarkan fakta, tanpa konfirmasi, dan berisi fitnah harus dapat dijerat dengan hukum pidana umum, dengan tetap menjaga prinsip lex specialis UU Pers bagi media yang sah.
Terakhir, pemerintah perlu menyusun program literasi media bagi aparat dan masyarakat. Kesadaran akan ciri-ciri media profesional dan hak masyarakat atas informasi yang benar adalah kunci untuk memutus siklus penyalahgunaan profesi wartawan.
Demokrasi yang sehat membutuhkan pers yang bebas, tetapi juga bertanggung jawab. Di tengah banjir media digital, negara tak bisa lagi berpangku tangan. Jika pemerintah terus menjadi korban, jika masyarakat terus dibohongi, dan jika wartawan sejati tenggelam di antara para pemeras berkedok pers, maka masa depan kebebasan pers akan suram.
Kita butuh penertiban. Bukan pembungkaman.