Ketika Negara Hadir Terlambat

OPINI54 Dilihat

Oleh : Alimuddin

Pemred Media Ini


Kasus kekerasan yang melibatkan orang dengan gangguan kejiwaan kerap mengejutkan publik. Setiap kali peristiwa semacam itu terjadi, respons masyarakat hampir selalu sama: keresahan, kemarahan, lalu tuntutan agar negara segera bertindak. Aparat datang, situasi ditenangkan, pelaku dievakuasi. Ketertiban kembali tercipta.

Namun, di balik ketenangan yang dipulihkan itu, tersimpan pertanyaan mendasar yang jarang diajukan secara serius: mengapa seseorang yang jelas membutuhkan perawatan bisa hidup tanpa pendampingan hingga akhirnya melukai?

Pertanyaan ini penting, karena kekerasan yang melibatkan orang dengan gangguan jiwa bukanlah peristiwa yang datang tiba-tiba. Ia hampir selalu merupakan ujung dari rangkaian panjang pengabaian—baik oleh keluarga, masyarakat, maupun negara.


Gangguan Jiwa sebagai Persoalan Publik

Orang dengan gangguan jiwa hidup di tengah masyarakat, bukan di ruang hampa. Mereka hadir di lingkungan sekitar kita, terlihat setiap hari, dan sering kali telah menunjukkan tanda-tanda kesulitan jauh sebelum sebuah insiden terjadi. Namun, selama tidak menimbulkan kegaduhan, keberadaan mereka kerap dianggap sebagai urusan pribadi atau keluarga semata.

Pandangan ini keliru. Kesehatan mental adalah persoalan publik. Ketika negara tidak menyediakan sistem pendampingan, layanan kesehatan berkelanjutan, dan mekanisme pencegahan yang memadai, maka risiko yang muncul tidak hanya ditanggung oleh individu yang sakit, tetapi juga oleh masyarakat luas.

Sayangnya, negara sering kali baru hadir setelah risiko itu berubah menjadi kenyataan.


Logika Reaktif yang Berulang

Dalam banyak kasus, pola penanganannya hampir selalu sama. Ketika terjadi kekerasan atau ancaman keselamatan, fokus utama adalah mengembalikan ketertiban secepat mungkin. Evakuasi dilakukan. Pelaku dibawa ke rumah sakit atau fasilitas tertentu. Lingkungan kembali tenang.

Langkah ini tentu diperlukan dalam situasi darurat. Namun masalah muncul ketika penanganan berhenti sampai di sana. Tanpa tindak lanjut yang jelas, tanpa pemantauan jangka panjang, dan tanpa koordinasi lintas sektor yang kuat, evakuasi hanya menjadi solusi sementara.

Yang terjadi kemudian adalah siklus yang berulang: krisis muncul, ditangani secara darurat, lalu dilupakan—hingga krisis berikutnya datang.


Di Balik Singkatan ODGJ

Istilah “orang dengan gangguan jiwa” atau ODGJ sering kali digunakan secara administratif dan praktis. Namun, di balik singkatan itu terdapat manusia dengan latar belakang yang kompleks: kemiskinan, keterbatasan akses layanan kesehatan, keluarga yang kewalahan, stigma sosial, serta kebijakan yang tidak berpihak pada pemulihan jangka panjang.

Mereduksi mereka hanya sebagai “ancaman ketertiban” adalah penyederhanaan yang berbahaya. Sebab, pendekatan semacam itu menempatkan keamanan sebagai tujuan tunggal, sementara pemulihan manusia justru terpinggirkan.

Keamanan memang penting. Namun keamanan yang dibangun tanpa keadilan dan kepedulian hanya akan melahirkan rasa aman semu.


Anak-anak dan Dampak yang Tak Terlihat

Dalam banyak peristiwa, korban yang paling terdampak adalah anak-anak. Mereka menjadi pihak yang paling rentan, baik secara fisik maupun psikologis. Luka yang dialami anak bukan sekadar luka sesaat, tetapi bisa meninggalkan trauma jangka panjang.

Ironisnya, perhatian publik sering kali hanya menguat pada momen awal kejadian. Setelah pelaku diamankan dan situasi dianggap terkendali, perhatian itu memudar. Jarang ada evaluasi menyeluruh tentang mengapa kejadian tersebut bisa terjadi dan bagaimana mencegahnya di masa depan.

Padahal, setiap insiden seharusnya menjadi peringatan bahwa sistem pencegahan kita belum bekerja dengan baik.


Rumah Sakit Bukan Garis Akhir

Ada anggapan bahwa membawa seseorang dengan gangguan jiwa ke rumah sakit berarti menyelesaikan masalah. Padahal, rumah sakit hanyalah satu bagian dari proses pemulihan yang jauh lebih panjang.

Tanpa kesinambungan pengobatan, tanpa pendampingan sosial, dan tanpa dukungan keluarga serta komunitas, risiko kekambuhan sangat besar. Di banyak daerah, mekanisme pasca-perawatan masih lemah. Koordinasi antara layanan kesehatan, pemerintah daerah, dan masyarakat belum berjalan optimal.

Akibatnya, seseorang yang telah “ditangani” berpotensi kembali ke lingkungan yang sama dengan kondisi yang tidak jauh berbeda.


Ketertiban dan Tanggung Jawab Negara

Ketertiban publik memang menjadi salah satu tugas utama negara. Namun ketertiban yang hanya berorientasi pada penanganan darurat tidak cukup. Negara juga memiliki tanggung jawab moral dan konstitusional untuk memastikan warganya—termasuk mereka yang mengalami gangguan kesehatan mental—mendapatkan perlindungan dan perawatan yang layak.

Kesehatan mental tidak boleh terus-menerus ditempatkan sebagai isu pinggiran. Ia harus dipandang sebagai bagian integral dari kebijakan kesehatan dan kesejahteraan sosial.

Tanpa perubahan cara pandang ini, negara akan terus berada dalam posisi reaktif—datang setelah luka terjadi, bukan mencegahnya sejak awal.


Belajar dari Setiap Kejadian

Setiap insiden kekerasan yang melibatkan orang dengan gangguan jiwa seharusnya menjadi momentum refleksi bersama. Bukan untuk menyalahkan individu semata, tetapi untuk meninjau kembali sejauh mana sistem yang ada telah bekerja.

Keamanan sejati tidak hanya diukur dari absennya kegaduhan, tetapi dari hadirnya rasa aman yang berkelanjutan—aman karena ada pencegahan, ada perawatan, dan ada kepedulian.

Watansoppeng, 15 Desember 2025