Tajuk Kolektif Gerakan Pers Melawan Industri Media Ekstraktif

PERS81 Dilihat

Ketua Dewan Pers Prof. Dr. Komaruddin Hidayat


Penulis : Alimuddin


Tajuk Kolektif Gerakan Pers Melawan Industri Media Ekstraktif

Sebuah Catatan dari Dialog Nasional di Akhir Tahun Diselenggarakan oleh SMSI di Gedung Dewan Pers

Kita sedang menyaksikan pergeseran mendasar dalam dunia pers. Media baru tumbuh pesat, tetapi kemerdekaan pers justru menyusut. Bukan karena teknologi, melainkan karena dominasi neoliberalisme yang menjadikan media sebagai industri ekstraktif—menguras perhatian publik, memeras kerja jurnalistik, dan menyingkirkan kepentingan demokrasi.

Media hari ini tidak lagi sekadar menyampaikan informasi. Ia dipaksa memproduksi trafik. Dalam logika pasar yang absolut, berita diperlakukan sebagai komoditas, jurnalis sebagai buruh konten, dan warga sebagai objek monetisasi. Ruang publik dijarah secara sistematis, sementara demokrasi dibiarkan menanggung kerusakannya.

Dialog Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) di Dewan Pers menegaskan bahwa krisis pers bukan persoalan etika individual. Ia adalah krisis struktural. Etika runtuh karena sistem memaksanya runtuh. Ketika redaksi diikat oleh target klik dan algoritma, integritas jurnalistik menjadi kemewahan yang sulit dipertahankan.

Kita menolak anggapan bahwa ini adalah keniscayaan. Neoliberalisme media bukan hukum alam. Ia adalah pilihan politik-ekonomi yang bisa dilawan. Pers yang sehat tidak mungkin lahir dari sistem yang mengeksploitasi waktu, nalar, dan nurani jurnalis.

Industri media ekstraktif bekerja dengan cara yang familiar: mempercepat produksi, memangkas kedalaman, dan menghindari kritik struktural. Liputan investigatif dianggap mahal. Analisis mendalam dianggap tak efisien. Sebaliknya, sensasi dan polarisasi dipelihara karena menguntungkan. Dalam struktur ini, kebenaran selalu berada di posisi paling rentan.

Konsentrasi kepemilikan media memperparah keadaan. Segelintir kepentingan ekonomi menguasai banyak kanal sekaligus, membentuk wacana publik tanpa akuntabilitas. Keberagaman suara direduksi menjadi variasi kosmetik. Publik disuguhi pilihan semu, bukan informasi yang merdeka.

Platform digital global memperdalam kolonialisme informasi. Media lokal dipaksa tunduk pada arsitektur algoritma yang ditentukan korporasi raksasa. Redaksi kehilangan kedaulatan editorial, negara tertinggal dalam regulasi, dan publik kehilangan hak atas informasi yang sehat.

Kita menegaskan: pers tidak dilahirkan untuk melayani pasar. Pers lahir untuk melayani publik, mengawasi kekuasaan, dan membebaskan pikiran. Media baru hanya akan bermakna jika disertai keberanian kolektif untuk membongkar struktur yang menindasnya.

Gerakan pers harus melampaui seruan moral. Kita membutuhkan perubahan sistemik: model bisnis non-ekstraktif, perlindungan terhadap kerja jurnalistik, regulasi yang membatasi dominasi modal dan platform, serta solidaritas antar-media untuk menolak logika pasar yang merusak.Ini adalah perjuangan ideologis.

Mempertahankan pers yang merdeka berarti mempertahankan demokrasi itu sendiri. Selama media masih diperlakukan sebagai ladang eksploitasi, ruang publik akan terus dijarah.

Kita tidak bisa netral dalam situasi ini. Pers harus memilih: tunduk pada pasar atau berpihak pada publik. Tidak ada jalan tengah.