Keterangan Foto :
Gubernur Sulawesi Selatan Andi Sudirman Sulaiman bersalaman dengan Kapolres Wajo AKBP Muhammad Rosid Ridho di sela groundbreaking Preservasi Jalan Provinsi Sulsel di Lapangan Trikora, Sompe, Wajo
Penulis : Sabri
Di negeri ini, negara hampir selalu datang lewat jalan. Ia tidak hadir pertama-tama melalui sekolah, rumah sakit, atau air bersih. Ia hadir melalui aspal—melalui bentangan hitam yang menghubungkan desa ke kota, sekaligus menghubungkan rakyat ke kekuasaan.
Di Sompe, Wajo, Selasa lalu, (23/12/2025), negara kembali menurunkan simbolnya. Sebuah groundbreaking preservasi jalan provinsi dilakukan. Seremoni sederhana. Jabat tangan pejabat. Foto-foto. Pidato singkat. Lalu pekerjaan yang panjang menunggu.
Kita telah terlalu sering menyaksikan pola ini. Jalan bukan sekadar infrastruktur. Ia adalah bahasa politik. Ia adalah cara kekuasaan menunjukkan dirinya: terlihat, terukur, dapat dipotret, dan mudah diklaim. Jalan memberi kesan bergerak, walau tidak selalu menggerakkan kehidupan.
Aspal bekerja sebagai metafora. Ia menyiratkan kemajuan. Ia menenangkan kegelisahan. Ia memberi ilusi bahwa negara sedang bekerja, bahkan ketika pelayanan dasar lain masih tertinggal.
Dalam logika ini, pembangunan menjadi pertunjukan. Anggaran menjadi cerita. Rakyat menjadi penonton yang selalu berharap bahwa kali ini berbeda—bahwa lubang akan benar-benar hilang, jarak akan sungguh-sungguh dipendekkan, dan hasil tani akan benar-benar sampai lebih cepat.
Namun pengalaman desa sering berkata lain. Jalan sering selesai, tetapi akses ekonomi tetap timpang. Jalan mulus, tetapi harga panen tetap rendah. Jalan terang, tetapi sekolah tetap jauh.
Kehadiran polisi dalam seremoni menguatkan satu hal: pembangunan dipahami sebagai proyek yang harus aman secara administratif dan politis. Aman bagi laporan. Aman bagi dokumentasi. Aman bagi klaim.
Yang jarang dijaga adalah dampaknya.
Negara senang memulai. Tetapi jarang berlama-lama memastikan perubahan.
Sompe bukan hanya lokasi. Ia adalah pengingat: bahwa pembangunan tidak boleh berhenti pada aspal. Jika tidak, jalan akan terus menjadi simbol kekuasaan—bukan alat pembebasan.
Dan rakyat akan terus belajar berharap, sambil menunggu negara datang lagi lewat seremoni berikutnya.
