Bela Negara yang Harus Kita Pertanyakan

Uncategorized22 Dilihat

Keterangan Foto:


Seremoni Hari Bela Negara di tingkat lokal: simbol kesetiaan negara dipertontonkan, sementara makna bela negara diuji dalam praktik keadilan sehari-hari.


Penulis : Sabri


Kita kembali menyaksikan bela negara diperingati dengan barisan rapi, seragam tegak, dan pidato yang nyaris selalu sama. Di lapangan-lapangan upacara, negara tampil tertib dan berwibawa. Tetapi justru di sanalah tugas pers dimulai: mempertanyakan apa yang tidak terlihat di balik keteraturan itu.

Kita percaya bela negara bukan ritual. Ia lahir dari sejarah perlawanan rakyat, dari krisis legitimasi negara, dari kesadaran bahwa kekuasaan harus dibela hanya sejauh ia melindungi warga. Karena itu, setiap kali bela negara dirayakan tanpa refleksi kritis, kita patut curiga: siapa sebenarnya yang sedang dibela?

Hari ini, negara menuntut loyalitas, tetapi sering lupa memenuhi tanggung jawab sosialnya. Aparat diminta setia, tetapi ditempatkan dalam sistem yang timpang—di mana hukum kerap tunduk pada kekuasaan, dan keadilan menjadi negosiasi, bukan prinsip. Dalam struktur semacam ini, bela negara mudah tergelincir menjadi bela kekuasaan.

Kepolisian, sebagai wajah negara yang paling dekat dengan rakyat, berada di jantung kontradiksi itu. Di satu sisi, ia dipanggil untuk melindungi masyarakat. Di sisi lain, ia bekerja dalam arsitektur politik-ekonomi yang memberi privilese pada elite, modal, dan kepentingan sempit. Ketika hukum lebih cepat menghampiri warga kecil ketimbang pemilik kuasa, kita tahu ada yang keliru secara struktural.

Sebagai pers, kita menolak memaknai bela negara sebagai kepatuhan membisu. Kita menolak menjadikannya mantra ideologis yang menenangkan sistem yang tidak adil. Bela negara sejati justru menuntut keberanian: keberanian negara membatasi dirinya, keberanian aparat menolak perintah yang melanggar keadilan, dan keberanian publik untuk terus mengawasi.

Kita juga sadar, pers tidak berada di luar pusaran ini. Media sering diajak merayakan seremoni, mengulang pidato, dan membungkus kekuasaan dengan bahasa patriotik. Di titik itulah pers diuji: menjadi corong legitimasi atau penjaga nalar publik. Kita memilih yang kedua.

Bagi kita, bela negara hanya bermakna jika ia berpihak pada keadilan sosial. Ia harus hadir dalam pelayanan publik yang setara, penegakan hukum tanpa pandang bulu, dan perlindungan nyata bagi yang paling rentan. Tanpa itu semua, ajakan bela negara hanyalah tuntutan sepihak—kesetiaan tanpa kesejahteraan, disiplin tanpa keadilan.

Kita tidak kekurangan upacara. Kita kekurangan negara yang adil. Selama ketimpangan dibiarkan, selama hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas, selama kritik dianggap ancaman, bela negara akan tetap menjadi slogan kosong.

Maka tugas kita sebagai pers jelas: tidak ikut berdiri dalam barisan kekuasaan, melainkan berdiri di sisi publik. Mengingatkan bahwa negara bukan untuk dibela apa adanya, melainkan untuk terus dikoreksi. Karena hanya negara yang mau dikritiklah yang layak dibela.

Sengkang, 19 Desember 2025