Oleh: Alimuddin
Calon Ketua PWI Kab.Soppeng Masa Bakti 2025 — 2028.
Pemerintah, melalui Badan Perencanaan Nasional (BAPPENAS) pada tahun 2024, menunjukkan komitmennya terhadap kualitas jurnalisme dengan mendukung program Dewan Pers dalam memfasilitasi Pelatihan Jurnalistik dan Uji Kompetensi Wartawan (UKW). Salah satu implementasi nyata dari program ini adalah penyelenggaraan UKW di berbagai daersh di seluruh Indonesia.
Tulisan ini menjadi refleksi mendalam mengenai tema sentral: Profesionalisme Jurnalis, Sejarah Pers, serta Hukum Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Sebagai insan pers, kerja-kerja jurnalistik adalah rutinitas yang tak terpisahkan. Namun, di balik aktivitas harian tersebut, terdapat fondasi pengetahuan yang harus kokoh. Pemahaman yang memadai tentang profesionalisme jurnalis, sejarah pers, serta landasan hukum dan kode etik adalah bekal mutlak bagi setiap wartawan.
Tulisan ini sebagai upaya untuk mengukur kapasitas seorang wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistik secara profesional sesuai dengan tingkatan kompetensi yang disasar.
Merunut Jejak Sejarah Pers Indonesia: Dari Belanda hingga Kemerdekaan
Ketika berbicara tentang profesionalisme jurnalis, tak bisa dilepaskan dari akar sejarah pers itu sendiri. Sejarah adalah guru terbaik, dan dalam konteks pers, ia mengajarkan tentang perjuangan, idealisme, dan evolusi peran media. Mengutip data dari Indonesia Baik.id (9 Februari 2020), Hari Pers Nasional yang diperingati setiap 9 Februari diambil dari tanggal lahir Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 1946, dan ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985 oleh Presiden Soeharto. Ini bukan sekadar tanggal, melainkan simbol pengakuan terhadap peran vital pers dalam perjalanan bangsa.
Keinginan untuk menerbitkan surat kabar di Hindia Belanda telah ada sejak lama, namun selalu terkendala oleh kekuasaan VOC. Barulah pada masa Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff, terbitlah “Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen” pada 7 Agustus 1744. Ini adalah cikal bakal pers di Nusantara. Ketika Inggris mengambil alih pada 1811, “Java Government Gazzete” menyusul pada 1812, yang kemudian berganti menjadi “Javasche Courant” pada 1829.
Abad ke-19 menjadi saksi lahirnya surat kabar-surat kabar dengan semangat kritis terhadap pemerintahan kolonial, seperti “De Locomotief” di Semarang (1851). Untuk menandingi dominasi pers berbahasa Belanda, bermunculan surat kabar berbahasa Melayu dan Jawa, meski masih digawangi redaktur Belanda: “Bintang Timoer” (Surabaya, 1850), “Bromartani” (Surakarta, 1855), “Bianglala” (Batavia, 1867), dan “Berita Betawie” (Batavia, 1874).
Tonggak penting hadir pada 1907 dengan terbitnya “Medan Prijaji” di Bandung, yang dianggap sebagai pelopor pers nasional. Mengapa? Karena inilah surat kabar pertama yang diterbitkan oleh pengusaha pribumi, Tirto Adhi Soerjo, yang kemudian dikenal sebagai Bapak Pers Nasional. “Medan Prijaji” tidak hanya menjadi media informasi, tetapi juga menyuarakan kebebasan berpendapat dan membangkitkan semangat kebangsaan. Tokoh-tokoh pergerakan seperti Tjokroaminoto, Ki Hadjar Dewantara, dan Soekarno turut terlibat dalam penerbitan ini, menjadikan pers sebagai sarana komunikasi utama perjuangan.
Masa penjajahan Jepang (1942) mengubah lanskap pers. Penerbitan Belanda dan Tiongkok dilarang, digantikan oleh surat kabar yang dikelola penguasa militer Jepang seperti “Jawa Shinbun”, “Boernoe Shinbun”, “Celebes Shinbun”, “Sumatra Shinbun”, dan “Ceram Shinbun”. Pasca-kemerdekaan, pers nasional semakin menguat. Kelahiran LKBN Antara (13 Desember 1937), RRI (11 September 1945), dan PWI (1946) menjadi penanda kematangan pers Indonesia.
Definisi pers sendiri, sebagaimana diulas Detik.com (3 Mei 2023), berasal dari bahasa Latin pressare atau premere yang berarti “tekan” atau “cetak”. Secara terminologis, ini merujuk pada media massa cetak.
Lebih jauh, UU Pers No. 40 Tahun 1999 mendefinisikan pers sebagai lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik, meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dalam berbagai bentuk dan saluran.
Warisan Sejarah dan Tanggung Jawab Profesionalisme
Istilah ‘Jasmerah’ yang diucapkan oleh Presiden Soekarno, “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah,” sangat relevan bagi insan pers. Sejarah pers Indonesia adalah cerminan dari perjuangan panjang untuk kebebasan berekspresi, kemerdekaan informasi, dan independensi wartawan. Kebebasan yang kita nikmati saat ini adalah buah dari pengorbanan dan dedikasi para jurnalis pendahulu.
Sebagai bentuk penghargaan dan penerusan estafet perjuangan, sudah menjadi kewajiban kita untuk melanjutkan tugas sebagai wartawan yang profesional. Di era digital ini, tantangan semakin kompleks. Banjir informasi, disinformasi, dan kecepatan penyebaran berita menuntut profesionalisme yang lebih tinggi. Kompetensi wartawan, yang diuji melalui UKW, bukan sekadar sertifikat, melainkan pengakuan atas kapasitas untuk menyajikan informasi yang akurat, berimbang, dan bertanggung jawab.
Belajar dari sejarah pers yang penuh dinamika, kita diingatkan bahwa peran jurnalis bukan hanya menyampaikan fakta, tetapi juga menjaga integritas dan etika profesi. Hanya dengan menjaga profesionalisme, kita bisa memastikan bahwa suluh kebebasan pers akan terus menyala terang, menjadi penuntun bagi masyarakat di tengah riuhnya informasi.