Purnabakti dan Kesunyian Negara

POLRI603 Dilihat

Keterangan Gambar:

Kapolres Soppeng AKBP Aditya Pradana, S.I.K., M.I.K. menyerahkan piagam dan mengalungkan medali kepada wisudawan purnabakti dalam Wisuda Purnabakti Personel Polres Soppeng Tahun 2025. Prosesi ini merepresentasikan cara negara memberi hormat—sekaligus melepas—para penjaganya.


penulis : Alimuddin


Catatan Editorial tentang Cara Polri Melepas Orang-orangnya

Di aula itu, Sabtu pagi, 13 Desember 2025, negara tampak rapi. Lagu kebangsaan dikumandangkan. Doa dipanjatkan. Medali dikalungkan. Piagam diserahkan. Tepuk tangan pun diberikan. Semua tampak sempurna—setidaknya di permukaan.

Namun seperti banyak seremoni negara lainnya, Wisuda Purnabakti Personel Polres Soppeng menyisakan pertanyaan yang jarang diucapkan: apakah negara benar-benar tahu bagaimana cara mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang telah mengabdi kepadanya sepanjang hidup?

Enam personel Polri dilepas hari itu. Nama mereka dipanggil satu per satu, disematkan medali kehormatan, lalu diarahkan keluar melalui Gerbang Pora—sebuah simbol yang dimaksudkan sebagai penghormatan terakhir. Tetapi di balik simbol itu, ada realitas yang lebih sunyi: purnabakti kerap menjadi titik di mana negara berhenti hadir secara utuh.

Enam nama dipanggil satu per satu—
AKP Didid Rukminto Putranto,
AKP Juliyadin Nasution, S.Sos,
IPDA Zainuddin,
AIPTU Massaguni,
AIPTU Masdin,
AIPTU R. Bambang Tri Cahyo Gunarto.

Masing-masing membawa riwayat panjang yang tidak seluruhnya tercatat dalam laporan resmi: jam-jam patroli tanpa kamera, keputusan lapangan yang tak masuk arsip, serta risiko yang tak pernah menjadi statistik.

Seragam, Kekuasaan, dan Ilusi Kepedulian

Selama aktif berdinas, anggota Polri adalah wajah negara di lapangan. Mereka memikul mandat, risiko, dan beban moral yang tak ringan. Tetapi ketika masa dinas usai, relasi itu berubah drastis. Negara beralih dari “penuntut loyalitas” menjadi “pemberi kenangan”.

Piagam dan medali memang penting. Namun pertanyaannya: cukupkah itu? Apakah puluhan tahun pengabdian—dengan segala risiko fisik, tekanan psikologis, dan pengorbanan keluarga—dapat ditutup dengan seremoni berdurasi beberapa jam?

Purnabakti sering kali diperlakukan sebagai akhir administratif, bukan sebagai fase kritis yang membutuhkan perhatian kelembagaan serius: jaminan kesejahteraan yang memadai, pendampingan transisi sosial, hingga pengakuan non-seremonial atas pengetahuan dan pengalaman mereka.

Retorika Pengabdian yang Dipindahkan

Dalam sambutannya, Kapolres Soppeng menyampaikan kalimat yang kerap diulang dalam banyak forum serupa: purnabakti bukan akhir pengabdian, melainkan awal peran baru di tengah masyarakat.

Kalimat ini terdengar mulia. Tetapi ia juga menyimpan paradoks. Sebab secara tak langsung, tanggung jawab moral institusi dipindahkan kepada individu. Negara melepas, tetapi tetap berharap: berharap para purnawirawan menjadi teladan, penjaga nilai, dan penguat citra institusi—tanpa lagi berada dalam sistem yang melindungi mereka.

Di sinilah kritik kelembagaan perlu diajukan. Jika pengabdian dianggap tak pernah usai, mengapa dukungan negara justru berhenti di titik tertentu? Mengapa purnabakti lebih sering dimaknai sebagai pelepasan simbolik, bukan kesinambungan tanggung jawab?

Ingatan yang Tak Dikelola

Para purnawirawan Polri sejatinya adalah arsip hidup institusi. Mereka menyimpan ingatan tentang praktik lapangan, dinamika kekuasaan, kesalahan masa lalu, dan pelajaran yang tak tercatat dalam buku pedoman. Namun Polri—seperti banyak institusi negara lainnya—lebih sibuk merawat struktur daripada ingatan.

Tanpa mekanisme sistematis untuk menyerap pengalaman para purnawirawan, wisuda purnabakti berisiko menjadi ritual kosong: indah secara visual, miskin secara reflektif. Padahal reformasi Polri tidak hanya soal teknologi, seragam baru, atau jargon pelayanan—melainkan keberanian membaca ulang sejarahnya sendiri, termasuk dari suara mereka yang telah selesai bertugas.

Negara yang Pandai Menyuruh, Gagap Melepas

Negara pandai memberi perintah. Ia fasih mengatur barisan. Tetapi ketika harus melepas orang-orangnya, negara sering gagap. Ia mengganti tanggung jawab dengan simbol, perhatian dengan protokol, dan empati dengan jadwal acara.

Pukul 10.10 Wita, acara di Polres Soppeng selesai. Aula kembali sunyi. Kursi-kursi kosong. Bendera tetap berdiri. Institusi melanjutkan rutinitasnya. Sementara enam purnawirawan melangkah ke fase hidup yang sama sekali berbeda—tanpa sorotan, tanpa komando, tanpa barisan.

Yang benar-benar pensiun hari itu mungkin hanya seragam. Tetapi pertanyaan tentang bagaimana negara memperlakukan orang-orang yang pernah menjaganya—pertanyaan itu seharusnya tidak ikut dipensiunkan.

Karena ukuran martabat sebuah institusi bukan hanya bagaimana ia merekrut dan memerintah, melainkan bagaimana ia mengingat dan merawat mereka yang telah selesai mengabdi. (Sumber rilis : Humas Polres Soppeng)