Oleh : Syukur Mariorante Katalawala
Organisasi pers tidak dibangun untuk mengelola kekuasaan. Ia dibangun untuk membatasi kekuasaan—termasuk kekuasaan di dalam dirinya sendiri. Di situlah martabatnya bertumpu. Ketika batas itu dilanggar, pers kehilangan alasan untuk dipercaya.
Kasus pelantikan Ketua PWI Kabupaten Soppeng membuka satu kenyataan yang tidak nyaman: godaan kekuasaan telah masuk ke ruang yang seharusnya steril dari kompromi. Bukan sebagai skandal personal, melainkan sebagai gejala struktural. Gejala bahwa aturan mulai diperlakukan lentur ketika berhadapan dengan jabatan.
Peraturan Dasar PWI Pasal 28 ayat (2) jelas. Tidak ada ruang tafsir. Tidak ada pengecualian. Rangkap jabatan struktural dilarang di semua tingkatan. Larangan ini ditegaskan kembali oleh PWI Pusat. Artinya satu hal: organisasi ini sadar bahwa kekuasaan harus dibatasi—bahkan oleh pemiliknya sendiri.
Namun aturan hanya bernilai jika ditaati. Ketika jabatan pusat diterima tanpa melepaskan jabatan daerah, pesan yang dikirim bukan administratif, melainkan ideologis: bahwa kekuasaan lebih penting daripada disiplin. Di titik itulah organisasi mulai tergelincir.
Seremoni tidak pernah menciptakan legitimasi. Kehadiran tokoh tidak pernah menyembuhkan cacat kewenangan. Dalam organisasi yang sehat, legitimasi lahir dari satu sumber: ketaatan pada struktur. Tanpa itu, semua tampak sah di permukaan, rapuh di dalam.
Godaan kekuasaan jarang datang dengan wajah kasar. Ia hadir sebagai dalih stabilitas, pengalaman, atau kebiasaan lama. Tapi justru dari sanalah etika runtuh perlahan. Aturan menjadi formalitas. Struktur menjadi dekorasi. Dan organisasi kehilangan disiplin moralnya.
Pers tidak boleh meniru watak kekuasaan yang selama ini ia kritik. Jika organisasi pers mulai memaklumi pelanggaran kecil, ia sedang menyiapkan pembenaran bagi pelanggaran yang lebih besar. Preseden adalah musuh integritas.
Koreksi struktural bukan serangan. Ia adalah kewajiban. Organisasi yang menolak dikoreksi sedang memilih kekuasaan di atas nilai. Dan ketika pilihan itu diambil, pers berhenti menjadi penjaga etika—ia berubah menjadi institusi biasa yang hanya sibuk mengatur dirinya sendiri.
Kita harus tegas pada satu hal: pers tidak berhak mengoreksi dunia luar jika ia gagal menertibkan dirinya sendiri. Tanpa disiplin internal, semua kritik kehilangan dasar moralnya.
Godaan kekuasaan akan selalu ada. Tapi organisasi pers hanya diuji pada satu momen: apakah ia berani berhenti ketika aturan berkata cukup. Di sanalah integritas ditentukan. Dan di sanalah pers membuktikan apakah ia masih layak dipercaya.
Soppeng, 22 Desember 2025
